Salah satu yang hangat di akhir tahun ini adalah adanya wacana pengambilan aset dari Bank Swiss. Cukup beragam apa yang tampil sebagai reaksi atas pernyataan presiden itu. Paling tidak ada tiga kelompok yang menyatakan pendapatnya. Sangat bisa dipahami, berkaitan dengan kepentingan dan keberadaan mereka.
Pengamat dan ahli pun cenderung memiliki pretensi masing-masing, belum bisa sejernih dan seobyektif mungkin. Sebenarnya patut disayangkan jika pengamat sudah berpihak. Bagaimana anak bangsa diberi pembelajaran yang obyektif, jernih, dan apa adanya. Benar, bahwa tidak ada yang bisa lepas dari kepentingan, namun paling tidak mendekati yang ideal.
Memang tidak ada yang obyektif dan ideal di dunia ini, namun jika berpijak sebagai pengamat, atau akademisi, ahli ini dan itu, seyogyanya ya lebih mengarah pada kebenaran lepas dari kepentingan sendiri atau karena kesamaan dalam kelompok atau afiliasi politis. Literasi bagi bangsa paling tidak dilihat rekam jejak yang berbicara, afiliasi politik, dan kemungkinan kepentingannya apa dengan pernyataannya tersebut.
Korupsi telah terlalu dalam melukai bangsa ini, terlalu akut menjadi penyakit bagi elit negeri ini, dan bahkan tidak jarang mereka merasa baik-baik saja. Berpikir bahwa itu hal yang tidak salah, bahkan mulai mencari-cari pembenar, melibatkan Tuhan pula di dalam perilaku tamak, rakus, dan gila harta itu.
Tingkat keparahan korupsi itu terlihat dari kisah miris dari penjara Sukamiskin, di mana mereka karena masih kaya raya, uang malingan yang tidak perlu keringat di dalam mencarinya, dipakai untuk menyuap kalapas. Membeli artis muda tergiur harta, dan menggunakan materi itu untuk memenuhi gaya hidup hedon mereka. Susah percaya jika uang itu hasil kerja keras digunakan untuk berpesta demikian. merasa mendapatkan uang mudah, digunakan hanya untuk kesenangan.
Ma lima, jelas menjadi bagian utuh tak terpisahkan dari gaya hidup para koruptor ini. jangan kaget pasangan sah menderita mereka tetap berpesta dengan perempuan lain. Apa tidak menderita coba memiliki suami setiap saat masuk tivi karena maling, bukan prestasi positif lho. Hati nurani tumpul sekalipun tetap kala sendiri bersama Tuhannya akan menangis pilu dan sedih.
Perilaku demikian, tentu akan mempertahankan uang dan materi mereka yang disimpan dengan sangat aman selama ini. Eh ternyata Bank Swiss mengubah pola pendekatannya di mana tidak mau lagi menjadi "pelindung" para maling, termasuk diktator mata duitan, bandit demokrasi dari penjuru dunia.
Paling tidak ada tiga kelompok besar di Indonesia yang menyatakan pendapatnya mengenai upaya pemerintah ini.
Pertama, kelompok yang optimis, karena melihat memang upaya panjang  itu ada secara legal. Payung hukum telah ditandatangani dan ada hitam di atas putih. Usaha panjang yang memang tidak sesederhana membalik telapak tangan.
Yakin dengan kinerja dan transparansi yang mungkin bisa dicapai, memang tidak akan mudah, namun bisa. Upaya yang dilakukan itu ada harapan karena memang ada juga perubahan dari pihak Swisnya. Ini menjadi penting, karena selama ini dicekoki film, novel, dan kisah-kisah kerahasiaan Bank Swiss yang tidak kenal kompromi.
Penjelasan dan sosialisasi mengenai hal ini penting, sehingga orang yang  masih ragu karena reputasi Bank Swiss bisa paham. Era global begini tetap saja mereka juga berubah, apalagi kejahatan internasional, diktator tamak, dan sejenisnya membuat mereka juga tercoreng citra baiknya.