Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buru Uceng Kelangan Deleg ala Koalisi 02

13 Desember 2018   19:55 Diperbarui: 13 Desember 2018   19:59 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah ungkapan dalam  budaya dan bahasa Jawa yang bisa diartikan, bahwa memburu yang kecil, namun yang jauh lebih besar lepas. Bisa juga dimaknai secara bebas, jika karena mengejar yang tidak seberaa malah melepaskan yang ada dan jauh lebih besar. Banyak faktor mengapa orang atau kelompok bisa berbuat demikian.

Ceroboh, gegabah, dan emosional

Jelas sangat buruk, apalagi jika berbicara mengenai kepemimpinan. Sikap gegabah yang terpengaruh oleh sikap emosional, brangasan, tidak mau tahu dan tidak mau kalah, bisa membuat perhitungan gagal dan salah karena tidak menggunakan akal dengan semestinya. Apa yang sebenarnya perlu ketelitiaan malah dikalahkan sikap panas dan emosional itu.

Kecerobohan yang bisa membuat pertimbangan itu tidak menyeluruh, mendalam, dan ala kadarnya. Hal yang sangat merugikan bagi sebuah keputusan besar.  Berkaitan dengan poin ini adalah sikap pemimpin yang,

Keras Kepala, Merasa Diri Paling Benar dan Tahu

Dalam sebuah organisasi, keras kepala kadang dibutuhkan, namun bukan dalam keseluruhan proses kepemimpinan dan organisasi. Dalam keadaan krusial keras kepala  bisa menjadi alternatif untuk mengatasi jalan buntu. Misalnya banyak kepentingan, kemudian pemimpin memutuskan dengan kehendak sendiri dengan pertimbangan matang.

Namun menjadi bumerang ketika pemimpin itu keras kepala tidak mendasar karena sifatnya yang merasa paling benar dan merasa paling tahu. Selain keras kepala ini juga tinggi hati. Jelas bertentangan dengan model kepemimpinan dan sifat pemimpin yang baik dan ideal.

Bahaya bagi demokrasi juga bagaimana pemimpin merasa paling benar dan paling tahu. Ciri demokratis bisa terciderai jika pemimpinnya merasa selalu benar dan paling tahu. Demokrasi salah satunya adalah adanya semangat keterbukaan dan kesamaan di dalam berbagai hal, termasuk pendapat dan diskusi.

Sikap berikutnya yang mengikuti adalah merendahkan pihak lain dan tidak mau tahu kondisi diri sendiri dengan semestinya. 

Sikap berikut yang semestinya adalah sikap respek pada pihak lain, rival, karena karakter merasa paling benar. Hal ini jelas berkaitan dengan merasa lebih ini membuat pribadi demikian susah melihat orang lain  lebih, padahal jelas tidak demikian seharusnya. Lagi-lagi sebagai seorang pemimpin sangat berbahaya.

Koalisi 02, memilih memindahkan pusat pemenangan ke Jawa Tengah, ini mau memburu uceng, karena Jawa Tengah itu selain kandang banteng, PDI-P, juga asal usul Jokowi. Apa iya orang Jawa Tengah mau melepaskan "miliknya" untuk memilih yang lain. Jelas sangat kecil. Pilihan yang tidak akan memberikan banyak suara, baik untuk sekarang dan masa depan.

Identik dengan pilkada, apalagi cawagub yang diusung malah pada posisi yang berbeda, sulit melihat mereka mendapatkan sedikit saja peluang. Basis massa  kuat mereka di pilkada itu itku cawagub, bukan cagub Sudirman Said yang tidak mempunyai basis massa real dan fanatis.

Mereka telah menang di periode lalu di Jawa Barat, dengan modal awal itu, tinggal mengamankan saja sebenarnya. Kondisi yang jauh berbeda, apalagi diperparah dengan peta politik yang jauh berbeda.

Jawa Barat kemarin masih lebih berpikir soal agama dan kadar agama capres dan cawapres. Lha sekarang siapa yang bisa mempertanyakan kualitas keagamaan KH MA coba? Segi yang cukup banyak membantu karena karakter budaya Sunda yang masih memegang teguh agama dan ketokohan ulama masih relatif kuat.

Keberadaan pimpinan daerah, di mana gubernurnya sudah beralih dari dukungan politiknya. Dulu kader dan mesin PKS cukup banyak membantu. Kini, sudah di tangan gubernur baru dan jauh-jauh hari sudah menyatakan mendukung yang berbeda.

Pemilih sekarang cenderung sudah melihat sepak terjang, prestasi, dan reputasi dari kedua pasang calon. Berbeda dengan 2014 kemarin yang masih sama-sama samar. Nama Jokowi belum menasional dan masih banyak  lokallah, sekitaran Jakarta. Prabowo sudah menasional karena memang sudah ketua umum partai. Artinya keduanya berimbang di dalam belum jelasnya.

Pembangunan jelas memberikan keuntungan banyak bagi incumbent karena jelas memang kewajiban pemerintah yang melakukan kerjanya. Hal yang sejatinya adalah konsekuensi logis dari kinerja mendapatkan  hasil nyata. Kerja keras dan kehendak kuat menghadapi segala tantangan dan bisa dijalankan dengan relatif baik.

Keberadaan beberapa partai lama yang menyeberang juga cukup kuat di Jawa Barat, seperti Golkar dan P3. PKS tidak cukup besar, pun Gerindra, demikian juga PAN. Demokrat tidak perlu dibicarakan untuk memberikan dampak bagi pemilihan kali ini.

Pilihan yang lebih bernuansa gambling, dan asal-asalan, sepanjang berani namun cenderung tidak berhitung. Mengejar gengsi dan berani di Jawa Tengah, dengan potensi tidak akan banyak keuntungan, malah melepaskan Jawa Barat yang cukup signifikan memberikan kontribusi suara dan pemilih.

Susah melihat pemimpin emosional, di kelilingi suporter yang tidak berani membantah, ya sudah adanya ngawur, dan asal-asalan. Gaya, merasa hebat, tanpa ada nilai yang diperjuangkan.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun