Kedua, dugaan suap, pengaturan skor, dan penegakan aturan yang selalu saja terulang ketidakjelasannya. Hukuman bagi para pelanggar aturan bisa sangat berat, namun tiba-tiba juga hilang begitu saja. Ketidakjelasan yang membuat keadaan tidak makin baik.
Ketiga, pengakuan pengaturan skor ini sebenarnya jika mau jujur, bukan barang baru dan tidak berdasar. Tim yang bagus, bisa tiba-tiba kalah tanpa alasan yang jelas. Atau tim besar kalah oleh tim kecil dengan pinalti, bukan permainan yang meyakinkan.
Keempat, pengakuan pemanggilan tim nas dengan cara atau ala preman. Pemain diancam baru ada surat permintaan untuk memperkuat tim nas. Â Bagaimana klub dengan suka rela jika demikian, apalagi ketika menghadapi pertandingan krusial, sedang tim kompetitor yang sangat ketat bersaing bisa melenggang karena adanya kebijakan pemanggilan yang tidak jelas.
Kelima, kehendak baik sama sekali tidak ada. Sejak lama kog soal suap, perilaku tidak jelas wasit dan perangkat pertandingan. Toh tidak pernah diselesaikan dengan tuntas. Tahun lalu liga 2 yang ramai, kini liga 1 dan 2 sama saja. Anehnya tidak pernah ada penyelesaian yang menyeluruh, paling hanya menjadikan satu dua orang sebagai tumbal.
Jika hanya model seperti itu terus, jangan harap bisa menang ajang Asean sekalipun, apalagi Asia, apalagi dunia. Hanya mimpi. Kasihan pemain yang mati-matian memeras keringat, hanya menguntungkan beberapa pihak. Apalagi penonton yang harus selalu "menyubsidi" pengurus dan para oknum tamak.
Bagaimana bisa pemain main bagus, menjanjikan, eh ternyata pemain lainnya menerima uang untuk kalah. Atau pengurus menjual pertandingan agar mendapatkan keuntungan pribadi. Ya lahir sensasi dan kontroversi baru, bukan malah mendapatkan prestasi. Mau ganti pengurus ribuan kali, pelatihnya Pep Guardiola sekalipun ya sama saja, mentok di tangan mafia.
Apa iya begini terus, bayangkan Vietnam sekarang sudah jauh meninggalkan, padahal duluan timnas kita merasakan ketatnya kompetisi dan pertandingan. Â Perlu kehendak baik. Erik Tohor pun akan stres jika budaya PSSI masih sama.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H