Cukup menarik tawaran prokontra soal korupsi kepala daerah, berkali ulang kepala daerah baik gubernur atau bupati-walikota kena OTT KPK, yang paling sering. Apakah ini karena gaji kecil, atau regulasi yang masih lemah? kedua-duanya tidak tepat, jauh lebih utama adalah sikap mental pejabat itu dulu.
Jujur itu hebat ala KPK itu sangat memalukan sebenarnya. Apa iya, bangsa in telah sedemikian memalukan, sehingga jujur itu prestasi? Tidak juga ah, masih banyak orang jujur, memang kurang ketika dihadapkan dengan ketamakan dan kerakusan elit negeri ini. Tidak bekerja minta gaji besar, dan minta dimaklumi ketika jeblok kinerjanya.
Gaji kecil pimpinan daerah memang ada pengikut dan pendukung keyakinan ini, tokoh yang terang-terangan mengaku adalah Zulkifli Hasan. Di mana ia mengatakan kalau gaji gubernur kecil, maklum  saja jika korupsi. Ah yang benar saja? Ini jelas bisikan iblis yang enggan kehilangan kaki tangan potensialnya.
Bandingkan jor-joran ketika mau menyalonkan diri. Banner photo narsis yang sejatinya mengotori pemandangan dan jadi sampah itu bukan murah. Berapa saja dihabiskan hanya untuk itu. Hanya untuk banner, spanduk, stiker, dan remeh-temeh mengenalkan diri ini gaji lima tahun bisa kurang.
Gaya hidup ketika menjabat. Nah ini sering diabaikan, bagaimana gaji lima juta rupiah, namun naik mobil  mewah. Jika mobil mewah, apa iya mau makan di pinggir jalan? Atau jajan cendol di pertigaan jika haus? Ini merembet ke mana-mana, jangan dianggap sepele. Gaya hidup ini jauh lebih berbahaya karena akan bisa mengelabui regulasi apalagi jumlah gaji.
Uang hsil colongan untuk menghidupi istri muda, menginap di hotel dengan artis, atau nyawer untuk artis yang beayanya sangat mahal. Jika uang yang dihasilkan dengan cucuran keringat, pasti akan sayang dan eman. Â Hanya karena hasil nyolong ya dengan gampang mengalir.
Regulasi tidak kurang-kurangnya kog. Aparat juga bekerja dengan relatif baik, hanya saja masiha da satu jika mau serius soal Pembuktian Terbalik. Dan diikuti oleh pemiskinan, penyitaan aset, kekayaan, dan kepemilikan pelaku koruptor.
Jauh lebih mendesak adalah sikap mental yang tidak mengambil yang bukan haknya. Apakah bisa? Toh bisa banyak kisah di mana orang-orang biasa, bukan pejabat itu mengembalikan uang yang ia temukan, bukan seribu dua ribu, ada yang jutaan kog.
Bagaimana  mengatakan gaji kecil, ketika dikali lipatkan pun masih saja berupaya menciptakan peluang  untuk maling. Ini sejak awal cenderung ada pemikiran untuk maling kog. Mungkin ekstrem dan berlebihan jika mengatakan mau jadi pimpinan daerah karena bertujuan mengeruk kekayaan negara dan daerah. Namun ini fakta yang terjadi. Maka suap, kolusi, dan rekayasa proyek dan anggaran jamak terjadi.
Niat bukan? Tidak soal gaji dan regulasi. Memang ini sedikitnya spekulasi, namun banyak bukti yang memang demikian. Fakta yang ada mengarah ke sana. Berbagai alasan tertangkapnya pimpinan daerah ya tidak ada yang miskin, jika berkaitan dengan gaji yang kecil, atau mereka tidak tahu bahwa itu melanggar hukum.
Sikap dan sifat tamak, rakus, nggrangsang, dan tidak pernah puas itu penyakit dasar yang harus disembuhkan dulu. Mau digaji berapapun, diberi pagar aturan seperti apapun kalau mental dan motivasinya mau maling tidak akan bisa diatasi.
Mungkin pula ini masalah yang mendasari susahnya menyelesaikan persoalan korupsi yang demikian marak, masif, dan sampai ke mana-mana dan seolah tidak ada jeranya sama sekali. Nyatanya sudah dinaikan gajinya, remunerasi ratusan persen, seperti pegawai pajak, toh masih ada Gayus dan pengikutnya. Pun di lembaga lain perilaku yang sama juga terjadi.
Mengubah pola pikir sehingga orang menghargai proses dan hasil itu sebagai bonus. Selama ini kekayaan membuat orang dihormati, dihargai, mengenai asalnya maling, korupsi, bahkan nyopet pun bisa kaya raya, dan tetap dihargai di lingkungannya. Coba jika dibalik, memberi makan keluarga kog uang yang hasilnya dari nyolong, apapun namanya dan caranya. Tega sekali sebagai orang tua berlaku demikian.
Mental maling itu bukan karena gaji kecil, kemudian kurang untuk makan dan kehidupan yang layak, namun karena memang tamak dan tidak pernah puas. Di sinilah peran agama dan segi spiritualitas. Tidak cukup berpakaian dan menyitir kalimat suci untuk hidup mereka, namun maling juga melaju takk terkendali. Satunya kata dan perbuatan sehingga penghargaan itu purna bukan hanya label yang bisa dipooles dan menipu demikian.
Regulasi pun masih sulit dipercaya karena para pelakunya telah merencanakan, merancang, dan mengantisipasi bahwa itu bukan menyediakan tiang gantungan untuk diri dan koleganya sendiri. Susah percaya para elit itu serius membuat peraturan yang bisa memberantas korupsi dengan jauh lebih baik.
Memang hasilnya ada, namun jauh dari harapan, bagaimana masih tertatih-tatihnya bangsa ini di dalam membangun salah satunya anggaran tidak dipakai sepenuhya untuk membangun, masih banyak yang tercecer dan mampir ke kantong pribadi dan kelompok.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H