Mungkin pula ini masalah yang mendasari susahnya menyelesaikan persoalan korupsi yang demikian marak, masif, dan sampai ke mana-mana dan seolah tidak ada jeranya sama sekali. Nyatanya sudah dinaikan gajinya, remunerasi ratusan persen, seperti pegawai pajak, toh masih ada Gayus dan pengikutnya. Pun di lembaga lain perilaku yang sama juga terjadi.
Mengubah pola pikir sehingga orang menghargai proses dan hasil itu sebagai bonus. Selama ini kekayaan membuat orang dihormati, dihargai, mengenai asalnya maling, korupsi, bahkan nyopet pun bisa kaya raya, dan tetap dihargai di lingkungannya. Coba jika dibalik, memberi makan keluarga kog uang yang hasilnya dari nyolong, apapun namanya dan caranya. Tega sekali sebagai orang tua berlaku demikian.
Mental maling itu bukan karena gaji kecil, kemudian kurang untuk makan dan kehidupan yang layak, namun karena memang tamak dan tidak pernah puas. Di sinilah peran agama dan segi spiritualitas. Tidak cukup berpakaian dan menyitir kalimat suci untuk hidup mereka, namun maling juga melaju takk terkendali. Satunya kata dan perbuatan sehingga penghargaan itu purna bukan hanya label yang bisa dipooles dan menipu demikian.
Regulasi pun masih sulit dipercaya karena para pelakunya telah merencanakan, merancang, dan mengantisipasi bahwa itu bukan menyediakan tiang gantungan untuk diri dan koleganya sendiri. Susah percaya para elit itu serius membuat peraturan yang bisa memberantas korupsi dengan jauh lebih baik.
Memang hasilnya ada, namun jauh dari harapan, bagaimana masih tertatih-tatihnya bangsa ini di dalam membangun salah satunya anggaran tidak dipakai sepenuhya untuk membangun, masih banyak yang tercecer dan mampir ke kantong pribadi dan kelompok.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H