Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengaruh 212 dan Elektabilitas Jokowi dan Prabowo si Tamu Sewot

6 Desember 2018   11:06 Diperbarui: 6 Desember 2018   11:32 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup menarik dan masih hangat terus keberadaan reuni  212 beberapa hari lalu. Diperparah dengan komentar yang sangat jauh api dari panggang ala Prabowo. Bagaimana bisa memarahi dan menuduh insan pers dan media karena tidak diliput dengan masif. Aneh dan lucu. Jika berbicara itu acara murni agama, beda jika itu adalah kampanye.

Melihat efeknya yang ke mana-mana, terutama kemarahan karena minimnya peliputan, makin terkonfirmasi itu adalah upaya kampanye terselubung yang gagal. Mau polemik itu aktifitas agama, mau bertikai soal jumlah yang hadir, itu tidak lagi penting, yang utama adalah bahwa Prabowo telah gagal di dalam menciptakan salah satu momentum mendapatkan  panggung baru, usai porak poranda karena kesalahan fatal merespons Ratna Sarumpaet.

Kesalahan merespons yang fatal itu diikuti kesalahan demi kesalahan dan kebohongan yang sengaja, tidak mendapatkan poin balik yang baik dengan acara 212 kemarin.  Seberapa parah kondisi Prabowo usai acara tersebut?

Demokrat yang lagi-lagi jadi anak bengal dengan tidak hadir, jelas memperlihakan bagaimana koalisi ini ada. Mau dibantah seperti apa tidak mempan lagi, bahwa Demokrat hanya nitip nama partai dan investasi 2024. Beda maksud dan beda kehendak di 2019  ini.  Sudah tidak hadir, pun respon tidak ada.

Belum lagi Sandi yang tidak ada pula di sana. Apa yang dibaca adalah apakah Prabowo jengkel, atau marah juga dengan Sandi? Ini bisa dan sah-sah saja, selama ini belum pernah mereka berdua tampil kompak, bahkan dalam ide pun sering tidak begitu padu. Jika ada pandangan mereka tidak harmonis, sangat mungkin. Masalah modal, atau matahari kembar? Bisa kedua-duanya.

Emosionalnya Prabowo dan beberapa elit yang terlibat di dalam acara justru memberikan lagi-lagi kredit negatif. Jauh lebih menjual sebenarnya adalah kesuksesan acara dengan berapapun yang hadir. Tanpa rusuh, relatif bersih, dan berjalan baik. Mengapa malah mencari-cari masalah dengan media dan jurnalis?

Apa yang disajikan Prabowo itu jelas orang yang berpikiran negatif bukan optimis. Melihat kebaikan saja tidak bisa malah memperkeruh keadaan. Peristiwa ini tidak bisa dijadikan bahan untuk politik korban.  Fakta baik yang tidak bisa dikelola dengan baik malah sia-sia.

Beberapa pendapat dan amatan yang lebih mengarah ke kelompok fundamentalis dengan agenda lain sangat mungkin, bisa ya bisa tidak, namun bahwa itu lagi-lagi malah menggerus suara Prabowo dari kalangan nasionalis dan Gerindranya. Jangan-jangan malah PKS yang mendapatkan keuntungan dari sana.

Para peserta yang hadir, hampir bisa dipastikan adalah pemilih loyal Prabowo sejak  2014, dan adanya kesamaan gagasan dalam aksi 2016, artinya ya itu yang menjadi pemilih Prabowo, tidak ada yang baru, malah jika mau realistis jelas sangat menghawatirkan melihat yang hadir itu. Lagi-lagi meskipun mau berkelahi soal jumlah, toh nalar perlu bicara besarannya tidak akan sampai angka lebih dari tiga juta.

Satupun elit dan partai pendukung Jokowi, pun Jokowi tidak diundang, makin mengonfirmasi bahwa kegiatan itu tidak semurni yang didengung-dengungkan. Apalagi banyak keluar pernyataan 2019 presiden baru. Makin jelas aroma apa yang terjadi. Dan itu bukan kegiatan yang menjanjikan pemilih yang masih belum menentukan pilihannya.  Makin enggan karena warna yang sangat terbatas segmennya.

Peluang PKS dan HTI yang lebih memperleh panggung. Upaya perlawanan HTI untuk dibubarkan susah berhenti. Mereka sudah ada di mana-mana, bagaimana mereka bisa kembali eksis itu tentu kendaraan yang baik. Momen pilpres apalagi hanya dua kubu dan kristalisasi yang berlangsung hampir lima tahun itu makin mengutub, mereka tentu dengan pengalamannya  bisa melihat peluang itu.

Tokoh-tokoh yang hadir pun banyak yang sedang berurusan dengan hukum, baik yang sudah jelas ataupun yang masih upaya awal. Mirisnya mereka bukan taat hukum, namun malah ngele, menuduhh ini dan itu. Bagaimana bisa diyakini bahwa mereka itu punggawa dalam hidup keagamaan?

Jargon-jargon yang ada lebih bernuansa PKS dari pada Gerindra.  PKS sangat perlu panggung, namun mereka juga tidak berani vulgar dan setrang benderang Demokrat karena mereka masih juga ngarep di DKI-02, yang hingga kini masih pula tarik ulur. Permasalahan sangat kompleks pemliu 2019 ini, kreatifitas menjadi penting. Dan siapa yang mendapatkan kredit positif 212, lebih cenderung PKS.

Sudah parah ditambah gelontoran masalah oleh Berkarya yang lagi-lagi memiliki agenda sendiri. Mau menghidupkan masa lalu, Orde Baru yang dalam sudut pandang yang dulu di dalam adalah enak, padahal korban langsung itu masih begitu banyak dan segar, waras, dan sehat pikirannya masih bisa bersaksi. Berbeda jika 40 atau 50 tahun lagi sudah banyak yang jompo dan pikun. Ini pun point buruk bagi Prabowo dan kawan---kawan.

Apakah ini menggerus pemilih Jokowi? Sangat tidak signifikan, berbeda jika yang hadir itu lebih dari 20 juta, tentu bukan aksi maksa di Monas saja, jika di sepuluh kota serempak dengan jumlah kehadiran masing-masing tiga juta begitu, klaim BPN Prabowo yang mengaku telah menguasai 29 provinsi itu benar adanya, bukan hanya omong kosong dan omong besar.  Satu tempat saja masih jauh dari angka besar selain klaim.

Kompaknya partai politik kubu Jokowi yang tidak ada yang hadir, bahkan tokoh 212 era 16 banyak yang tidak datang, makin memberikan arah ke mana kegiatan itu. Efek ke Jokowi sangat kecil, bahkan bisa mendapatkan limpahan pemilih, yang merasa arah Prabowo tidak sejalan lagi. Pemilih potenial Jokowi tidak ada yang terpengaruh malahan lebih kuat.

Ormas terbesar NU dan Muhamadiyah pun sejalan dengan apa yang dipilih pemerintah, pun MUI banyak yang tidak melihat urgensi kegiatan itu. Ke mana arah para pemilih yang berada dalam naungan ormas kedua itu makin terbaca dengan baik.  Benar mereka netral dan tidak mengarahkan anggota untuk memilih atau tidak memilih, namun kehadiran mereka kemarin menjadi indikasi kuat ke mana pilihan mereka.

Kemarahan dan kejengkelan Prabowo malah makin memperjelas arah 212 yang tidak sepenuhnya acara reuni. Kampanye terselubung yang gagal. Mengapa harus marah jika itu bukan acaanya coba? Pikirkan dengan jernih, jika ada tamu kog marah mengapa acara yang dihadirnya sepi dari sorotan media itu wajar tidak? Yang akan jengkel itu penyelenggara atau pemilik acara. Tamu mengapa sewot?

Tampilan Prabowo makin kelihatan aslinya, mudah tersinggung, grusa-grusu, dan maunya menjadi pusat perhatian utama. Orang lain tidak boleh melebihinya. Ini masalah juga ketika Sandi memperlihatkan langkah yang identik. Ada juga SBY yang senada. Pantes saja ia menilai koalisinya aneh. Koalisi ini rapuh karena dibangun oleh kepentingan yang beragam, tidak ada sikap menang-menang, dan lebih cenderung cari aman dan tidak peduli, jika itu perlu mengalahkan yang lain.

Rapuh yang disadari namun tidak disiasati dan diselesaikan ya buat apa. Apalagi lebih sering menuding pihak lain sebagai  pelaku ketidakadilan, mereka dikorbankan dengan kriminalisasilah, dengan anehaneh lainnyalah, dan itu lebih mempertontonkan sifat kekanak-kanakan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun