Saat menjadi tukang Pembentukan Karakter siswa-siswi bagi sebuah yayasan pendidikan di suatu pulau, dalam satu sesi untuk kelas tertentu itu, ada yang membahas mengenai pertobatan. Ilustrasi yang saya pakai adalah, sakit itu perlu obat, salah itu perlu maaf, kalau dosa itu perlu tobat. Tobat dan obat itu dekat dan mirip.
Salah satu jiwa besar itu kalau berani mengakui kesalahan, meminta maaf, dan ada kelanjutannya bertobat. Pertobatan itu bukan semata kata maaf, ampun, sori, atau sejenisnya, esensi  tobat itu adalah balik arah, tidak lagi mengulangi hal yang sama. Apa bedanya dengan omong kosong jika mengulangi berulang kali, apa tidak malu dengan keledai yang tidak jatuh kedua kalinya di lubang yang sama.
Dalam sebuah kisah inspirasi, ada cerita mendalam. Seorang bapak prihatin melihat anak laki-lakinya, gampang sekali mengumpa, emosional, pemarah, dan seolah tidak peduli pada lingkungan yang ia sakiti. Semua cara dan trik dilakukan, awalnya memarahi, membuat makin parah. Cara halus pun sama saja, orang yang disegani, hanya mempan sejenak.
Suatu hari si bapak memaku dinding untuk memasang gambar. Ia memiliki ide untuk mencoba cara lain menyadarkan si anak. Si anak diminta ketika sekali membuat hujatan, umpatan, dan cacian, atau kemarahan ia harus memaku sebuah papan. Ternyata cukup efektif, setiap waktu berangsur berkurang kemarahan dan ngamuk si anak.
Ketika makin sedikit, dan bahkan dalam waktu yang cukup lama si anak tenang, si bapak memintanya untuk mencabut setiap kali ia berbuat baik, membantu ibu, adik, berdoa, atau apapun yang dimaknainya sebagai perbuatan baik.Â
Ternyata jauh lebih cepat ia mencabut hampir seluruh paku dari papan tersebut. Si anak juga makin tenang dan tidak lagi meledak-ledak, ia telah bisa mengatasi emosional yang awalnya tidak terkendali itu.Â
Ketika benar-benar paku itu telah habis tercabut, dengan perasaan haru ia peluk si anak dan diajak untuk melihat bekas paku itu. Meskipun telah memohon maaf, mendoakan, dan berbuat baik apapun, toh bekas paku itu tetap ada di sana.
Maaf dan memaafkan itu ada dua sisi. Antara pelaku dan obyek yang terkena sasaran perbuatan tidak baik, yang akan memberikan maaf. Seperti antara pemaku dan papan. Boleh bahwa pemaku mengatakan meminta maaf, dan hak papan itu memberikan maaf, atau tidak, dan membakas atau tidak. Â Dan jika pemaku mengatakan bahwa memohon maaf itu berjiwa besar itu juga boleh-boleh saja, apakah orang yang terkena "kesalahan" itu benar-benar iklas dan memaafkan dengan setlus hati, dan tidak ada "bekas"?
Itu dalam sisi psikologis dan spiritual, bagaimana dalam pola politis yang  kali ini ternyata seolah menjadi cara Sandi untuk membuat dan melakukan kebohongan berulang dan kemudian mohon maaf, atau Prabowo yang meledek dan kemudian trik yang sama, meminta maaf.
Sederhana memang meminta maaf itu jika hanya sebatas lamis, hanya asal memenuhi hasrat bisa klaim berjiwa besar atau mendapatkan label  rendah hati dan berani bertanggung jawab. Boleh saja, namanya juga manusia itu tidak lepas dari salah, khilaf, atau keliru. Apa yang terjadi jika seolah itu pola berulang? Apa iya rendah hati dan jiwa besar? Malah sebaliknya, itu bebal dan berjiwa kerdil karena tidak belajar lebih baik.
Produsen kebohongan dan meminta maaf, termasuk blunder dan kontroversi.