Polri serba salah juga menghadapi keberadaan kemungkinan adanya kasus dalam kemah pemuda setahun lalu ini. Ada  beberapa hal yang membuat menjadi pelik dan rumit karena menyangkut elit politik, dan arah yang berbeda dari para pelaku dan penegak hukum di sana.
Acara yang diinisiasi oleh Kemenpora dengan tujuan awal baik dan mulia di dalam menyikapi pafam radilkal, dikotomi politis yang makin mengerucut, dan jelas mengenai fenomena hoax. Namun ujungnya malah akan cenderung  politis seperti ini.
Kisah ini makin susah ketika ada dua kubu  yang berseberangan. Kisahnya pun bertolak belakang  akan potensi adanya dugaan pelanggaran hukum. Makin susah karena lagi-lagi pilihan politik yang berseberangan pula. Insiator pun demikian.
PP Muhamadiyah pun sedang mengadakan suksesi kepemimpinan, jadi bisa siapa saja, bisa ke mana-mana. Mirisnya ketika Jokowi dibawa-bawa. Ini sudah agak melebar. Sah-sah saja sih di dunia politik yang demikian, namun apakah signifikan?
Polisi memiliki posisi strategis untuk menjadikan ini sebagai momentum bebenah dan menampilkan wajah penegak hukum sejati, yang netral, tidak takut akan tudingan sumir, dan tegas dan hukum itu tidak pandang bulu.
Pilihan tegas pada penebar hoax, pemfitnah, dan ujaran kebencian telah terbukti, tudingan macam-macam tetap ada, polisi juga maju dengan sikapnya. Meskipun dalam kondisi dan peristiwa tertentu masih belum berani.
Pemanggilan dengan adanya kemungkinan fakta perbedaan laporan, saksi lagi, sebenarnya hal yang normal. Mengapa Dahnilharus menyeret Jokowi segala? Ingat Pak JK, wapres aktif, Â Pak Boed, wapres era lalu, sering juga dipanggil KPK menjadi saksi, toh beliau berdua juga hadir dan memenuhi panggilan tanpa "menggigit" pihak lain.
Proses awal yang normal menjadi besar karena posisi tahun politik, posisi sebagai juru bicara yang sangat seksi dengan potensi menjual "politik korban" dengan pernyataannya yang ini adalah konsekuensi atas kritikan pada pemerintah. Jika mau jernih adalah datang, klarifikasi, dan kemudian tunjukkan bukti di mana kebenaran itu. Bukan hanya katanya, katanya, dan kemudian melebar ke mana-mana.
Cukup lucu ketika generasi muda, namun ternyata pola pikirnya tua, tidak berbeda dengan generasi Anas, Andi, apalagi sesepuh macam  Akil dan generasiny yang ngeles seperti bajaj dan ujung-ujungnya juga kena bui KPK. Pola kakek dan bapak digunakan generasi muda. Miris.
Posisi polisi menjadi penting untuk membuktikan ini adalah murni kasus hukum, adanya kerugian negara, tanpa rekayasa. Jika pelaporan itu rekayasa buktikan juga dan bukan karena takut ancaman dan tudingan macam-macam. Jauh lebih penting nama baik polisi daripada sekadar politis dan politikus yang teriak-teriak tidak menambah baik keadaan.
Keberadaan polisi yang sering dituding berseberangan dengan apa yang didukung Dahnil memang membuat serba tidak mudah. Apa yang disampaikan akan dianggap sebagai "serangan" politis, padahal itu hanya asumsi dan perlu pembuktian biar jelas, tidak seperti kasus RS yang malah saling sandera dan polisi pun kena imbasnya.
Jangan takut kalau memang Ansor bersih tanpa adanya kekeliruan, pun jika PP Muhamadiyah memang tidak ada kesalahan, baik administrasi ataupun korupsi, nyatakan ada apa kemarin sampai gaduh seperti itu, jangan hanya diam saja tanpa ada kejelasan. Kejelasan itu memberikan jaminan nama baik bagi polisi pun pihak-pihak yang terlibat.
Sebaliknya jika memang ada kesalahan, apapun bentuknya, nyatakan dengan jelas, dan peradilan yang memutuskan benar atau salah. Jangan ngeles, ngacam-ngancam, dan menuduh sebagai permainan politis. Â Patut didengar komentar Raja Antoni yang menyarankan Dahnil berjalan tegak menghadapi kejadian ini.
Memang ada ketidaktepatan waktu ketika polisi mendapatkan laporan adanya dugaan penyelewengan dana. Mengapa saat ada muktamar suksesi, dan panas-panasnya tensi politik. Soal tensi politik memang tidak bisa dielakkan kejadian pun di kisaran waktu politik mulai menghangat. Patut dilihat justru di tengah gelaran suksesi.
Kecermatan polisi akan sangat membantu poin bagi kepolisian jika serius menangani ini, ada potensi salah dan benar yang sama kuatnya. Jangan sampai polisi mendapatkan tudingan dijadikan alat kekuasaan. Ini sangat fatal bagi pemerintah yang sedang berjalan pula. Saatnya membuktikan netral dan memang penegak hukum.
Pelaporan yang ditutup rapat ini memang mengandung risiko makin liar, namun penting juga agar tidak lebih liar lagi jika ternyata ada kepentingan entah politik negara, atau politik ormas, semua masih terbuka kemungkinan itu.
Hal ini sebenarnya sederhana jika dihadapi dengan jiwa besar. Toh bisa saja polisi menghentikan pelaporan ini karena tidak ada bukti, tidak terjadi pelanggaran hukum, apalagi masih statusnya saksi. Beda jika tersangka. Dipanggil saksi saja kog riuh rendah seperti sesepuh itu.
Menarik ke ranah politis dengan menyebut risiko pengritik pemerintah, meminta Jokowi turun tangan, ini sudah politik, karena banyak juga pengritik pemerintah yang lebih tidak berdasar saja tidak diapa-apakan kog.
Berharap semua berjalan pada porsi masing-masing, penegakan hukum tetap pada koridor hukum, dan jika semua mau rendah hati dan siap dengan tidak saling curiga dulu, semua bisa jelas dan ternag bendera mana yang benar dan mana yang salam.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H