Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketergesaan Prabowo, Keuntungan Jokowi-KHMA

26 November 2018   17:50 Diperbarui: 26 November 2018   18:16 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampanye pilpres dari hari ke hari hanya menjadi hiburan bagi bangsa ini. Lumayan lah dari pada berseteru dengan keriuhan yang berisi fitnah atau hoax, meskipun toh tidak jauh-jauh amat dari kabar yang tidak sepenuhnya benar.  Prabowo beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang lebih menjadi konntroversi daripada menjadikannya meyakinan.  Sangat bisa dipahami.

Prabowo masih belum turun dan tampaknya memang belum berencana turun ke lapangan. Hanya karena pernyataan dari partai politik koalisi yang mempertanyakan keseriusan dan kemauannya menang, karena masih diam saja dan lebih banyak Sandi yang keliling dan banyak berbicara.

Apa yang dilakukan karena reaktif semata, dikatakan tidak niat dan tidak serius akhirnya ia turun ke lapangan dan hasilnya bisa disaksikan, lebih banyak kelucuan dan miris sebenarnya. bagaimana tim pemenangannya jauh lebih banyak memberikan bantahan atau meluruskan apa maksud sesungguhnya, bahkan sampai minta maaf karena memang dinilai kterlaluan.

Kemungkinan berikutnya adalah strategi menampilkan kontroversial yang semata mengejar ketertinggalan atas potensi keterpilihan. Hal yang masih bisa dipahami, karena belajar dari pilkada DKI 2017 dan pengalaman Donald Trump itu bisa mengubah keadaan.

Dua pengalaman pemilihan dengan memutarbalikan keadaan itu tentu ada konteks dan dinamika khas masing-masing, tidak bisa dipersamakan begitu saja. Jika kemungkinan ini yang ada, tentu  pertaruhan yang sangat besar dan mahal.

Pola yang sama, malah cenderung ini adalah karakter, di mana menggunakan bahasa merendahkan. Minimal dalam masa kampanye ini ada dua kejadian, pertama mengenai  tampang Boyolali dan soal profesi tukang ojeg. Malah tampang Boyolali ini diulang dengan tampang Solo. Dulu masih berpikir ah ini hanya becanda dan gorengan politik semarta, namun ketika terulang, jelas itu kesenagajaan dan  penghargaan atas kemanusiaan yang rendah.

Komunikasi model atas-bawah seperti lawakan model Srimulat, ada korban yang menjadi obyek penderita sebagai bahan lawakan dan menjadi sumber tertawaan.  Lelucon itu memang paling mudah ya meledek dan merendahkan pihak lain. bahasa kekinian receh. Pemimpin kog seperti itu, mau jadi pemimpin nomor satu namun sikapnya merendahkan sebagian  anak bangsa. Itu juga anak bangsa lho.

Ketergesaan dan grusa-grusu khas Prabowo juga berkaitan dengan kekurangan dana kampanye. Ia menyatakan bahwa dia yang jenderal bintang tiga saja pinjam ke BI tidak dikasih, apalagi yang berjenggot. Entah apa masuknya jenderal dan jenggot, yang memperlihatkan kecerobohan adalah soal BI memberikan pinjaman. Kan Bank central bukan pemberi pinjaman, namun menjadi  penyelenggara perbankan seluruh bank di Indonesia.

Pernyataan Prabowo jelas tidak tepat jika mengatakan kalau pinjam ke BI tidak ada yang memberi. Bagaimana bisa seorang calon presiden, tidak tahu fungsi  esensial  bank dan bank central. Kan kacau nantinya ketika harus menentukan gubernur BI eh malah dianggap sama dengan pimpinan bank biasa. Sebenarnya hal ini tidak berbeda jauh dengan apa yang ia sampaikan mengenai kisah Ratna Sarumpaet.  Belum tahu apa-apa, belum tahu kebenarannya eh malah mengadakan konferensi press.  Dan apa yang terjadi berbeda jauh dengan apa yang dipikirkan dan dinyatakan.

Sikap yang relatif sama juga diperlihatkan sikapnya atas isu Palestina. Di mana ketika menjawab pertanyaan mengenai gagasan Australia yang akan memindahkan kedutaan ke Yerusalem, jawabannya memperlihatkan ketidakmatangan diplomatis bernegara, dan berkaitan dengan politik regional dan internasional. Jawaban yang hanya memikirkan secuil dari berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan di dalam isu yang sangat krusial.

Sebenarnya hal ini sangat wajar demikian faktanya. Mereka lebih terlihat memanfaatkan kampanye model antitesis pemerintah saja. Menyajikan sikap sok kritis atas kebijakan pemerintah, namun ternyata kododoran sendiri. Sepanjang empat tahun lebih mereka hanya menebarkan wacana yang mereka namai kritik, namun sama sekali bukan karena tidak ada solusi atau alternatif yang lebih baik. Apa yang dinyatakan hanya watoon sulaya, asal berbeda, dan kadang asal-asalan. Jika kritik itu akan juga memberikan apresiasi baik jika memang bagus. Toh tidak pernah.

Koalisi dan kepemimpinan yang aksi dan reaksi semata, sehingga mereka sibuk dengan pola yang sama terus menerus, pernyataan, klarifikasi, dan mengulangi yang sama, begitu terus. Apakah ini pemimpin yang patut mendapatkan kepercayaan.  Sama sekali belum ada nilai yang bisa meyakinkan untuk pemilih.

Lebih parah lagi, ketika mereka menghasilkan blunder, bukannya menyadari dan memperbaiki dengan penuh kesadaran dan kerendahhatian, malah akan menuding dulu dan ketika sudah mentok tidak ada lagi jalan, mau minta maaf.

Sering merasa diri bangga, pemimpin besar jika berani minta maaf, namun jika permohonan maaf itu karena kesalahan berulang, jelas bukan gambaran jiwa besar, malah justru pribadi ceroboh dan asal-asalan yang menutupi dengan atas nama jiwa besar dan dikaitkan dengan kualitas beragama. Padahal jelas bukan.

Tampilan kampanye selama ini hanya masih berfokus "menyerang" kubu lain.  Bagaimanapun  hal ini memang tidak melanggar UU, namun secara etis dan kepantasan ya tidak baik. Kan politik itu seni untuk memperoleh kekuasaan untuk kesejahteraan bersama. Nah bagaimana mereka menawarkan jalan untuk bisa memberikan kesejahteraan itu yang lebih dikedepankan. Lha ini malah fokusnya justru pada memberikan point buruk pada pihak lawan.

Mengapa fokus pada pihak lain? Karena memang mereka tidak memiliki program yang jelas dan konkret. Jika ada ide pun belepotan yang lagi-lagi malah menimbulkan kekisruhan baru. Bagaimana mengenai guru dengan gaji 20 juta yang dimentahkan koalisi sendiri. Memperlihatkan mereka memang tidak memiliki gagasan yang akan dilakukan.

Akibat ketiadaan program, masing-masing melakukan apa yang ada di pikiran, dan kemudian menjadi bumerang yang sibuk mempertahankan ide mentah yang jadi bulan-bulanan pihak  yang jelas menunggu lahirnya kelucuan demi kelucuan.

Diperparah dihuni oleh orang-orang yang cenderung susah mendengar orang lain, karena merasa diri paling dalam banyak hal.  Orang-orang tinggi hati, arogan, dan merasa hebat. Ingat arogan tidak mesti bahasa keras dan kasar, namun merasa selalu benar dan merasa paling hebat meskipun bahasa santun pun tetap masuk pribadi arogan.

Model demikian, kebersamaan orang-orang demikian, apa iya layak dijadikan pemimpin bangsa ini. bangsa ini sudah melangkah maju cukup signifikan, apa iya mau dibawa lagi mundur untuk dikelola oleh pribadi tidak jelas. Tidak jelas karena tidak  memiliki visi, tidak punya pandangan dan gagasan ke depan.

Pemimpin itu memikirkan banyak hal, bukan  bicara banyak hal yang tidak mendasar lagi. Bagaimana jika pemimpin setiap berbicara malah menjelekan pihak lain, merendahkan pribadi lain, dan merasa selalu benar. Apakah itu gambaran pemimpin ideal? Bukan.

Kampanye model demikian jelas menguntungkan pasangan Jkw-KHMA karena koalisi 02 sendiri yang menggerus potensi pemilih sendiri. Jangan menyalahkan pihak lain terus menerus, namun lakukan evaluasi dan fokus pada visi dan misi sendiri.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun