Pelantikan KSAD Jenderal Anika Perkasa lagi-lagi membuat riuh rendah dengan adanya pandangan mengenai politis yang lebih kuat. Dua hal yang banyak dinyatakan bahwa karena menantu ketua umum parpol pendukung pemerintah  dan mengenai senioritas di dalam militer. Apakah demikian adanya? Bisa dilihat dalam beberapa hal yang menarik.
Jabatan profesional, jenjang karir, pun politis. Mengapa demikian, memasuki level jenderal jelas sudah masuk paling tidak terpengaruh kepentingan politik. Ingat politik negara bukan politik sektarian sangat sempit semata. Ingat bagaimana Letjend. Prabowo tersingkir dari jalan mulus karir militer yang ada di depan mata. Itu politis.
Pun Jenderal Ryamizard Ryacudu yang diajukan ke DPR untuk menjadi kandidat panglima TNI kala itu oleh Presiden Megawati toh dicabut oleh Presiden SBY dan itu sangat logis. Orang apapun jabatannya, apapun kedudukannya, apa yang akan ia jadikan pembantunya? Tentu yang sejalan, yang dipercaya akan membantu langkahnya, bukan yang malah menjadi beban atau malah menghalangi langkahnya.
Dalam sebuah tim sepak bola bisa saja ada pemain yang lebih hebat namun  tidak dibeli klub karena bisa mengganggu ritme kamar ganti misalnya, atau tidak cocok dengan skema permainan si pelatih dan tradisi tim misalnya.  Bisa dilihat contoh konkret langkah kerja Panglima TNI yang lalu Jenderal Gatot Nurmantyo. Berbeda langkah yang bisa membuat sinergitas terhambat.
Hal yang sama dialami Jenderal Moeldoko, toh lama tidak terdengar dan kemudian masuk lagi di dalam lingkaran utama pemerintahan saat ini. Ryamizard juga demikian. tentu hal yang sebenarnya sangat normatif, wajar, alamiah, dan tidak ada yang berlebihan.
Masalah jika, jenderal itu tidak tahu apa-apa, sangat tidak layak, hanya karena mendukung pemerintah dan tiba-tiba dicomot menjadi pemimpin, ini  jelas persoalan besar. Jenjang karir militer juga bukan hanya presiden yang memberikan, ada Wanjakti yang tentunya banyak pihak, belum tentu bisa presiden titip orang tertentu untuk dikader.  Meskipun tetap bisa saja, itu masa lalu, kalau sekarang semua bisa bicara dan tentu akan menjadi beban berat justru.
Antara profesionalisme dan politis, sebenarnya hal yang tidak juga relevan, apapun jika sudah berbicara pengelolaan negara tetap akan politis. Mengapa karena itu berkaitan pula dengan politik negara. Tidak ada yang salah.Â
Yang salah kalau karena kepentingan politik menafikan profesioanalisme dan jenjang karir karena kesamaan pandangan dan pendukung utama. Tanpa dukungan  pilihan politik tidak bisa, ingat Orba dulu itu begitu. Dan pengaruhnya paling tidak soal dugaan, pola pikir masih indentik.
Apakah salah jika kebetulan menangtu pejabat atau karena afiliasi politik kemudian dituduh tidak bagus? Lagi-lagi dilihat adalah kualitasnya. Soal kebetulan menantu atau anak pejabat toh sejak lama, jauh lebih lama jadi menantu dari pada pemerintahan. Toh Prabowo menantu Soeharto, Ryamizard menantu Try Sutrisno, dan itu juga tidak menjadi ribet, kualitas itu menjadi yang utama.
Profesionalisme tentu menjadi ukuran penting, jangan karena pendukung presiden, tidak ada waktu lagi, baru bintang satu langsung bintang empat. Ini yang perlu menjadi penilaian, kenaikan cepat pun telah melalui kajian mendalam, bukan presiden namun intern AD. Mereka yang jauh lebih tahu.
Senioritas juga tidak bisa menjamin bahwa itu akan membuat lebih solid, lebih baik, dan lebih netral dari kepentingan politik. Mengapa? Belum tentu yang yunior itu lebih buruk dalam kepemimpinan. Toh panjang atau rentang jabatan ada sekitar dua hingga tiga tahun, ada angkatan yang tidak memiliki jabatan tertinggi seperti kepala staf atau panglima, hal yang biasa bukan? Â Berbeda dan itu masalah jika yang dipilih itu buruk, dan jauh dari angkatan yang ada, tiga tahun masih lah wajar, kalau lebih dari itu kurang ajar, apalagi hanya karena relasi pribadi.
Presiden mengatakan rekam jejak, jenjang karir, dan pendidikan yang komplet menjadi nilai lebih. Pendidikan ini yang jarang dimiliki oleh pejabat  militer, apalagi luar negeri, bukan soal menghargai luarnya, kalau di sini berderet gelar karena bayar. Memang ada kualitas pembeda yang cukup signifikan.
Kalangan dalam AD dan TNI umumnya juga adem ayem, tidak banyak gejolak, justru pihak luar, ada apa? Itu bisa dilihat  apa yang selama ini dilakukan. Dan kebiasaan mereka seperti apa, itu saja.
Jawaban KSAD, apa omong apa saja silakan, jelas memberikan pemikirannya untuk fokus pada pekerjaan, tanggung jawab, dan memang tidak akan bisa menyenangkan semua pihak di dalam waktu yang bersamaan. Pilihan bijak dan cerdik, menghabiskan energi jika terus-terusan demikian.
Perbedaan pandangan, piihan politik dengan atasan, dengan pimpinan, itu sebenarnya biasa dan wajar, asal tidak dijadikan panggung untuk kepentingan diri sendiri, dan untuk memperoleh panggung bagi karir pribadi. Seorang pemimpin yang baik akan respek pada atasan baik langsung atau tidak.Â
Perbedaan akan disalurkan dalam forum resmi, diskusi yang bertanggung jawab, kritik membangun. Sebaliknya, jika orang hanya mencari panggung, hanya akan bicara di luar, media sosial, media massa, tidak ada yang baru, namun diciptakan seolah baru.
Bagaimana bisa berjalan sebagamana mestinya jika ada anggota paduan suara mau menonjolkan diri dan lepas dari aba-aba dirijen? Apa salah dirijen memilih meminta anggota itu diam atau keluar sekalian?
Kebebasan berpendapat itu bukan asal berbeda, namun yang berkualitas, bukan apa-apa beda dan menyalahkan, menuding, dan menghakimi, tanpa jalan keluar. Habis energi untuk itu saja, kapan bisa membangun dengan baik?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H