Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo dan Vicky Prasetyo, Drama dan Politik

23 November 2018   05:00 Diperbarui: 23 November 2018   05:09 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini media sedang dipanaskan dengan kisah Vicky Prasetyo yang tidak ada habis-habisnya membuat cerita. Dulu dengan bahasa anehnya, kemudian dengan berbagai kontroversinya, tiba-tiba menikah dengan artis yang tidak kalah hebohnya. Tidak lama dengan isi pernikahan yang lagi-lagi tidak jauh dengan drama pula.

Soal isi juga tidak tahu dengan persis, hanya membaca judul dan palingan juga tidak jauh dari itu. Hampir tidak ada isi namun toh banyak juga yang mengulik dengan sepenuh daya dan mengikuti media sosialnya seolah itu menambah kualitas hidup. 

Pernikahan yang belum juga lama sudah diisi dengan penggrebegan dengan segala drama yang lakonnya lagi-lagi tidak jauh dari kontroversi. Miris lagi ini adalah pasangan suami-istri namun mengumbar ranah paling private sebagai konsumsi publik. Kamera, wartawan, dan banyak pribadi lain yang seolah memang dipamerkan kebobrokan mereka sendiri.

Itu dunia artis yang memang hanya mengandalkan viral yang kadang menggunakan segala cara yang penting  bergulir, tenar, meskipun cemar  tidak peduli. Bahasa gaulnya settingan, yang seolah ada agen untuk itu, menjual derita, drama, dan sering pula adalha ranah paling pribadi termasuk aib tidak menjadi masalah.

Trik murah meriah dan jaminan masuk media menjadi promosi yang luar biasa di tengah arus budaya instan, soal penilaian dan penghargaan atas moral tidak lagi menjadi yang utama. Yang mendatangkan uang, sekalipun mempermalukan diri sendiri dan orang lain bukan masalah.

Prabowo dan Tim

Menyaksikan apa yang mereka tampilkan, kog naif jika ini bukan settingan laiknya perilaku VP itu. Bagaimana tidak ketika mereka bisa saling meniadakan pendapat satu sama lain. lagi-lagi ini soal tenar meski cemar juga menjadi panglima dan gaya berkampanye yang murah meriah.  Mempermalukan diri sendiri juga tidak merupakan hal yang membebani nurani mereka.

Saling bantah antarketua partai politik dengan tim kampanye hampir setiap waktu hadir. Saling bantah dan mentahkan ungkapan bukan lagi barang baru. Mengeluarkan pernyatan dan kemudian disadari sebagai kesalahan dan kemudian meminta maaf, begitu saja dan selesai. Hal-hal itu berulang dan seolah tidak menjadi beban bagi mereka, bahwa kebohongan, kesalahan, dan drama mereka itu makin hari makin garing.

Pola berulang, belum lama, seolah ada perselisihan antarparpol, membuat tuduhan yang tidak terbukti kemudian meminta maaf, dan itu masif, terstruktur, dan ada yang seolah  mengatur, susah untuk tidak curiga bahwa itu ada yang merencanakan dengan baik dan memang sudah dirancang sebagai sarana mengaet pemilih.

Mengapa demikian?

Pola pikir anak bangsa yang masih suka sensasional daripada yang esensial. Lihat saja bagaimana artikel bagus, judul manis dan faktual, akan kalah dengan artikel bombastis, judul menarik meskipun isi jauh dari apa judulnya. Pun media demikian juga. Bagaimana media yang menjual sensasi, menuliskan berita atau opini bombastis lebih ramai dan banyak iklan.

Lebih menjual kemasan dari pada isi. Jelas ini dalam politik, maaf bahkan mirisnya dalam kegiatan agama dan keagamaan pun demikian. Orang dengan tampilan tertentu dianggap sebagai orang saleh yang patut mendapatkan dukungan, sekaipun salah, karena keyakinan yang tidak mendasar, selain melihat kulit itu.

Tengok ke sekitar, bagaimana jika ada kecelakaan, kebakaran, pembunuhan, dan kejadian tidak biasa lainnya, apa yang dilakukan? Menonton, merekam, dan kepo. Mengulurkan tangan, menyingkir untuk memudahkan bantuan itu tidak ada. 

Gaya hidup sok tahu dan pengin tahu menjadi gejala buruk yang perlu disadari. Bagaimana kebakaran sulit di atasi bukan karena mobil pemadam belum datang atau smber air yang jauh, namun kerumunan orang yang susah dihalau untuk mobil pemadam bisa masuk.

Acara-acara televisi yang menjual itu berisi kisah sensasional. Drama yang diciptakan, direncanakan, mengundang orang yang potensial berkelahi dalam arti sesungguhnya ataupun kiasan.  Acara yang datar-datar saja meskipun memiki nilai luhur jangan harap akan laku.  Sepi dari penonton, akhirnya sepi juga dari iklan dan bubar jalan.

Orang-orang yang suka sensasi itu biasanya menarik pengikut di dalam media sosial, bukan soal inspiratif, sosok yang meyakinkan, namun lagi dan lagi yang penting tenar, viral, meskipun cemar tidak peduli. Nah itu artinya adalah uang. Ketika orang lupa akan kejadian sensasional sebelumnya, dibuatlah kisah yang baru dengan drama yang lebih mengharu biru.

Beberapa kisah kontroversial namun mendapatkan sorotan kamera, bahkan mendapatkan ganjaran sebagai duta ini dan itu membuat orang yang memang dasarnya miskin prestasi dan kemampuan, aji mumpung. Zaskia Gotik yang becanda soal Pancasila menjadi duta Pancasila, Dewi Persik yang memaki petugas transjakarta menjadi duta transjakarta, dan banyak kisah sejenis lainnya. Bayangkan buat apa susah-susah berbuat baik dan taat aturan jika demikian. Toh yang  salah pun bisa menjadi duta dan tenar.

Pemahaman moral yang buruk membuat masyarakat bingung, kacau, dan seenak perutnya ikut-ikutan yang penting tenar. Drama dibuat untuk mendapatkan keuntungan sesaat, mengenai benar atau salah bukan menjadi pedoman bertindak.

Penilaian moral membutuhkan pendidikan yang baik, padahal tahu sendiri pendidikan kita seperti apa. Susah  berharap pertimbangan moral kalau pendidikan masih menghafal. Hafalan tidak cukup menjadi pertimbangan dan penilaian moral. Tidak cukup.

Agama dan penghayatan pun sebelas dua belas dengan pendidikan. Hanya ritual dan hapal. Soal penerapan dalam hidup sehari-hari, masih jauh, toh lihat saja ayat-ayat suci malah dipakai membenarkan diri dalam mencuri. Sangat fatal.

Keteladanan jelas dari mana menemukan hal tersebut. Nyatanya miskin keteladanan bangsa ini. susah menemukan tokoh idola bagi remaja. Yang baik dimusuhi, yang jahat dipuja.

Apa iya bangsa ini akan terus menerus hidup dalam alam ilusi demikian terus?

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun