Kembali kampanye pengulangan yang akan ramai dan itu artinya berhasil menyiptakan kegaduhan. Ini bukan soal kebenaran atau hanya hasutan, soal kampanye yang memberikan dampak. Hal yang identik telah dilakukan Sandi beberapa waktu lalu dengan nominal yang berbeda. Atau tipisnya tempe, atau tebalnya tempe yang ia buat mainan itu.
Soal harga juga demikian, dulu Sandi mengatakan nasi ayam di Singapura lebih murah dari pada di Jakarta. Kali ini Mardani, si politikus kepenginan tidak terwujud ikut-ikut harga telor di Malaysia lebih murah. Jika salah gampang akan ngeles atau menguap begitu saja, kalau benar, toh banyak faktor yang tidak begitu saja bisa dijadikan pembanding.
Titiek yang mengatakan Rp 50.000, 00 dapat apa itu, bukan hal yang perlu dijawab dengan serius. Bandingkan saja dengan anak TK apa sama dengan mahasiswa uang sakunya? Demikian juga ada kog dengan uang Rp 50.000,00 itu hidup sekeluarga, namun ada juga yang sekali makan saja tidak cukup. Apakah itu bisa dijadikan patokan? Tidak sama sekali.
Saya kog ragu Titiek Soeharto ini tahu bedanya beras untuk makan sehari-hari dengan beras ketan atau pulut. Antara kunci dengan jahe, antara merica dengan ketumbar, antara sawi dengan selada. Apa pernah juga ia ke pasar merasakan pengagnya pasar yang mau aneka ragam dari keringat penjual dan pembeli serta buruh angkat di sana? Di tengah aroma bawang, ikan asin, daging, dan segala aroma khas pasar itu?
Jangan-jangan cara mengupas bawang saja bagaimana tidak bisa. Ini bukan soal menghina, namun mengenai gaya hidup dan kemewahan yang ia rasakan sejak dini. Susah memahami orang yang sangat akrab hidup dalam sangkar emas, namun tiba-tiba peduli pada keadaan rakyat yang ia akui dibela itu.
Apakah hal-hal yang berulang dan jelas kebohongan itu perlu dilakukan klarifikasi? Bisa saja satu dua membalas dengan kebenarannya, namun tidak perlu berlebihan, toh itu hanya sesaat, rakyat ini sudah banyak yang paham dan cerdas kog biarkan saja yang bodoh itu tergulung oleh kebodohannya sendiri. Jangan ditanggapi dengan berlebihan. Tidak ada isi yang patut diklarifikasi dengan kehebohan. Biarkan toh nanti akan membuat yang baru, tapi sama juga yang itu lagi-itu lagi.
Kampanye model demikian tentu akan menemukan titik jenuhnya, lihat soal harga naik, pedagang pasar yang mengusir mereka, karena takut orang tidak jadi berbelanja. Mereka sudah tergulung oleh perbuatan mereka sendiri. Tim sukses tidak perlu susah payah membuktikan dan membuat pembanding yang malah hanya akan membuat mereka bahagia.
Benar bahwa harus ada sikap, bantahan, namun secukupnya, tidak perlu sampai berlebih-lebihan. Pengulangan, belum juga setengah tahun sudah mengulang, berarti mereka miskin kreatifitas, bahkan memang tidak ada yang dijual dan ditawarkan lagi.
Penting sekarang disajikan adalah pemerintahan Soeharto, mohon dengan segala hormat, bahwa di balik kesuksesan yang tidak seberapa itu banyak pula kejahatan, hasil buruk yang ditanam dan sekarang menuai badai yang ia taburkan. Miris ketika ketua juru bicara koalisi 02, yang kelahiran 80-an itu bisa membela Soeharto dengan mengatakan jangan semua-semua salah Soeharto. Paling tidak ia sudah paham apa dan siapa Soeharto di dalam memimpin negara ini. Mosok anak usia 16 tahun tidak tahu pemerintahan buruk, atau tidak mau tahu?
Jika dia jujur akan mengakui bagaimana tanah kelahirannya itu dulu dan kini. Atau akses dari kampung halamannya ke mana-mana dulu dan kini. Sederhana saja. Ini mengenai pembangunan yang kasat mata.
Soal perpolitikan dan kebebasan berpendapat, coba tanya pada Budiman Sujatmiko, Fahi Hamzah, Adian Napitupulu, jangan Fadli Zon yang tidak akan mengaku sebenarnya. kalau Budian dan Adian kurang obyketif, coba Fahri dia akan bisa lebih dipercaya kan ada di kubu yang sama. Kalau mau lebih obyektif dan adil, tanyalah orang-orang kelahiran 60-an ke bawah, akan jelas seperti apa sepak terjang Soeharto, jangan angkatan 40-an, sudah sumir dengan pemerintahan Pak Karno. Saksi hidup, otak dan ingatan masih segar dan sangat waras bisa dijadikan saksi.
Coba baca buku Syukur Tiada Akhir, milik Yakob Utama, di mana ia merasa dua kali keringat dingin di hadapan Soeharto, bukan karena kemarahannya, namun senyum dan kata singkat yang memberikan ancaman yang mengerikan. Jelas bagaimana ia memerintah.
Mengapa bukan salah Soeharto? Semua hal dalam rezim Orde Baru itu ada di tangan Soeharto seorang. Mau jadi ketua parpol, ketua dewan, mau menjadi wakil presiden, ketua lembaga tinggi dan tertinggi negara itu semua adalah ketetapannya. Tangan tunggal Soeharto. Itu jelas. Lha kini semua mekanisme terbuka saja semua salah Jokowi. Ini mana otaknya sih kog malah kebalik-balik, jelas salah dibela, yang belum tentu salah dituding.
Menyajikan data dan keberadaan pemerintahan Soeharto apa adanya, memberikan pemahaman yang baik dan benar bagi pemilih yang lahir di atas 80-an, termasuk Dahnil Simanjutak ternyata. Akses banyak yang ia miliki ternyata masih terbutakan, apalagi yang tidak memiliki akses lebih?
Apakah hal yang sudah membaik mau dibawa mundur dan menganut rezim otoriter lagi demi memuaskan beberapa pihak?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H