Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sandi, Prabowo, dan SBY, Kepentingan 2024 dan Kampanye 2019

21 November 2018   07:54 Diperbarui: 21 November 2018   07:57 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa indikasi terlihat, bagaimana ia tidak tahu apa-apa mengenai koalisi sebagaimana pengakuan Yusril. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk maju bersama sebagai koalisi dengan partai politik juga memperoleh efek magisnya, bukan hanya pilpres semata.

Apa yang ditagihkan oleh kubu Demokrat juga menjadi jelas bahwa Sandi asyik sendiri dan lupa bahwa ia itu calon wakil dan ada juga gerbong yang bersama-sama dengan dia untuk maju. Komunikasi di dalam tim kampanye mereka tampaknya sangat lemah dengan bisa berbeda antarsatu dengan yang lainnya. Mana bisa jubir nasional dikritik salah satu elit mereka tidak memiliki data. Kalimat Fahri ini jelas fatal.

Investasi jangka panjang yang telah ia hitung masak-masak. Maka mundur dari jakarta ia langsung lari, terbang, dan mengunjungi banyak daerah. Untuk apa mengenalkan diri, ambil mengucapkan bahasa-bahasa kontrobversial yang diulang-ulang terus. Jelas arahnya ke mana.

Apa yang dicari di 2019 hanya antara, kalau menang ya syukur, kalah pun sudah  mulai menasional namanya. Ini bukan hal yang kecil dampaknya.

Demokrat dan 2024

Demokrat juga sebenarnya investasinya tidak kurang-kurang. Hanya ternyata SBY yang ahli kalkulasi politik itu abai sedikit sehingga salah di 2017. Toh dengan cerdik di atasi dengan langsung target 2019 ikut di dalam pilpres, dengan AHY yang makin dikedepankan untuk menjadi terdepan dalam banyak cara.

Tiba-tiba ada Sandi yang lagi-lagi SBY lalai melihat ini sebagai pesaing serius bagi AHY. Meradangnya Andi Arief soal jenderal kardus jelas adalah kemurkaan, kemarahan, dan kegeraman SBY atas lalainya melihat pesaing sepadan tiba-tiba itu.

Demokrat salah berhitung juga karena sekian lama asyik di dalam, ketika tiba pilpres, AHY yang ditawarkan ke mana-mana tidak menjadi bahan lirikan yang cukup menjanjikan. Padahal ada UU yang mengatur bahwa 2024 tidak bisa menyalonkan dalam pilpres, jika 2019 tidak ikut. Mau tidak mau, suka atau tidak, melabuhkan dengan berat hati pada koalisi Prabowo. Ini lagi-lagi lalainya SBY dalam memilih. Emosional yang merugikan.

Alasan hanya karena biar bisa ikut di 2024 lah Demokrat ikut gerbong Prabowo. Hambatan psikologis cukup kuat juga sebenarnya. Dan itu tidak bisa ditarik lagi. Berat memang dan SBY yang makin sepuh merasa semakin tidak sanggup. Belum lagi kader-kader yang bisa membantunya makin sedikit. Lebih banyak pemuja dan dompleng urip di sana.

Moncernya Sandi tenntu membuat SBY meriang. Susah dan makin lama lagi menantikan bisa ada klan Yudoyono di istana. Belum tentu, maaf ini bukan mendoakan, hanya melihat fakta usia kemungkinan hidup, masih bisa menyaksikan putranya di 2029. Sangat wajar SBY setengah hati mengampanyekan Prabowo. Apalagi disentil tagihan oleh elit Gerindra, makin meradanglah beliau. Seolah bisul mengkal kena sentil anak usil.  

Apa yang disajikan akhir-akhir ini antara SBY dan elit koalisi Prabowo hanya soal 2024, bukan pemilihn 2019. Memang SBY harus bersikap karena Sandiaga makin moncer dan makin menguat. Jangan sampai karpet merah untuk AHY terenggut lagi oleh Sandiaga Uno untuk kedua kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun