Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY vs Rizieq dan Demokrat vs Berkarya

19 November 2018   16:29 Diperbarui: 19 November 2018   16:56 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang ada dalam benak pasangan atau koalisi 02 ini agak susah dicerna. Mau dianggap degaln toh tidak juga, mereka serius lah mosok main-main dengan demokrasi. Kalau serius toh isinya kelucuan juga. Paling aneh itu melupakan SBY dan malah memilih menjemput RS. Coba bayangkan presiden dua kali diperbandingkan dengan napi dua kali.

Koalisi ini juga melupakan Demokrat sebagai sebuah partai yang pernah besar, pernah menang pemilu, dan juga dikelola oleh presiden dua periode, dengan "putera mahkota" yang cukup menjanjikan, malah memilih Berkarya, memang milik anak presiden berkali-kali, bahkan 32 tahun berkuasa. Reputasi berkarya masih belum teruji benar selain mengandalka masa lalu, toh elitnya susah juga diyakini mampu bekerja selayaknya, melihat rekam jejak mereka selama ini toh jauh dari prestasi yang kecil sekalipun.

SBY vs RS

Awalnya hanya dalam wacana juga separo dagela oleh sebagian partai PBB karena toh ketua umumnya tidak ikut yang membawa-bawa ide lama koalisi keumatan. Di mana SBY selaku ketua umum Demokrat dan partai Demokrat tidak diikut sertakan. Malah lebih mengedepankan 212, FPI, dan RS sudah diajak diskusi dan memberikan restu. Coba bayangkan siapa sih yang memiliki legal formal itu?

Melihat reputasi dan pergerakan 212 dengan segala tetek bengeknya susah diyakini arahnya ke mana. Begitu banyak faksi, apalagi salah satu penasihatnya menyatakan mundur karena merasa bahwa apa yang awalnya dulu itu dinilai baik, benar, dan diyakini ada yang perlu diperjuangkan, kini makin jauh dari itu. Di antara mereka toh juga sudah "sempal" dan memberikan dukungan pada koalisi lain.

SBY itu presiden dua periode, politikus matang, membawa Demokrat dari partai baru lahir kemudian membawa SBY menjadi presiden dan menang pemilu. Hanya dalam dua kali pemilu menjadi pemenang, ini malah diabaikan oleh koalisi yang mengambil jargon adil makmur itu. Bagaimana bisa mereka separah itu di dalam memilih rekan dan meninggalkan kawan, ini cukup buruk dalam bahasa komunikasi politik.

Pilihan dari pinggiran belum sempat ditanggapi oleh SBY, eh malah diperparah pertanyaan dari elit Gerindra mana janji  dari SBY untuk berkampanye bagi paslon 02. Wajarlah membuat SBY meradang dan merasa diperintah oleh parpol yang paling mendapatkan banyak keuntungan. Jawaban yang bisa dimengerti kalau SBY mengatakan sebagai presiden dua periode tidak pernah memaksa partai-parati politik untuk mengampanyekannya dulu.

Jawaban lebih jelas, tegas, dan menohok ketika SBY, AHY, dan Ibas sesuara yang menyatakan bahwa kader diberikan keleluasaan dan kebebasan untuk mendukung paslon 01 ataupun 02. Ini kah patutnya konsumsi intern bukan publik. Jika dinyatakan terbuka berarti memang ada maksud yang mau disampaikan oleh SBY dan Demokrat. Apa itu? Jelas kepentingan 2024, ini hanya sasaran antara saja 2019 itu.

Pilihan lebih memberi peran, menempatkan RS seolah masih memiliki fungsi dan peran sentral menambah runyamnya komunikasi politik. Kaburnya RS dan malah makin membuat ulah dari tanah rantau jelas bukan pilihan bagus dan bijak. Apalagi jika diperbandingkan dengan SBY. Jauh dan tidak sebanding.

Demokrat atau Berkarya

Lagi dan lagi lelucon ditampilkan. Demokrat itu partai besar. Berkarya ini  hanya partai memiliki dan dimiliki orang pernah besar. Susah berharap banyak dari parati baru, masa lalu yang tidak menjamin untuk menjadi modal sosial di dalam mengampanyekan partai politik. Berbeda jika pilihannya adalah modal "kardusnya", siapa yang bisa melawan klan satu ini.

Belum juga menang dan berkuasa saja sudah memperlihatkan maksudnya, di mana mau "menghidupkan" lagi Orde Baru.  Tanggapan dan reaksi yang mengatakan kalau masa Orde Baru yang dibanggakan Titiek Soeharto yang pernah menyandang Titiek Prabowo itu, ternyata banyak dari apa yang ia klaim. Keadaan berat, KKN merajalela, pembangunan hanya Jawa dan yang dekat dengan Jawa saja.  Apa mau mundur kembali membangun yang hingga Papua itu balik ke masa lalu.

Apa yang disampaikan dan dicita-citakan Titiek juga sebenarnya gambaran nyata kalau Titiek itu belum tahu banyak politik dan hidup bernegara. Hanya anak tua yang bisanya omong enak karena tidak pernah tahu hidup nyata yang tidak hanya ada enak dan enak karena fasilitas orang tua.

Jawaban warga yang lebih menohok, namun sebenarnya itu adalah pribadi, bagaimana ia saja "memecat"  Prabowo untuk menjadi suami dengan apapun alasan, mengapa rakyat diminta memilih dan memercayai yang pernah ia tendang? Toh bisa menjadi alasan bagi pemilih agar memiliki sudut pandang yang panjang, bahwa ada permainan yang melupakan nalar di sana. Jika tidak ada masalah dan baik-baik saja seperti yang ia nyatakan, masih menjadi suami dan keluarga yang utuh bukan?

Bisa dinilai bagaimana kedekatan Demokrat yang nyata itu ternyata malah digantikan kelompok yang tidak jelas seperti alumni gerakan tanpa memiliki kejelasan ide, visi, misi, struktur organisasi, dan pemimpin yang jelas. Lebih mendekat pada partai yang hanya mengandalkan nama-nama anak presiden masa lalu dengan segala catatan kekerasan dan KKN yang demikian kental.

Pernyataan bahwa Orde Baru itu baik, jika salah menyikapi bisa berabe. Daya ingat yang pendek dari sebagian bangsa ini mudah dimanfaatkan mereka untuk mengubah persepsi dengan pernyataan swasembada pangan yang hanya sejenak. Stabilitas politik dan keamanan. Selain itu banyak pemilih yang sama sekali tidak merasakan sama sekali seperti apa Orde Baru mengelola negara.

Jauh lebih berbahaya KKN dari pada hanya sekadar klaim swasembada pangan yang tidak lama itu. Menyembunyi data bahwa banyak masalah namun seolah-olah sukses dan gilang gemilang. Jika tidak salah, pasti Soeharto tidak akan turun dengan tidak hormat demikian.

Benarkah stabilitas keamanan dan politik yang diagung-agungkan itu? Benar dalam arti yang sangat sempit, karena militeristik pendekatan yang digunakan demi menegakan keamanan. Perbedaan dijadikan pembenar untuk mengerahkan militer. Polisi saja di bawah militer, jelas warna militeristik sebagai panglima negara.

Berbicara pergantian kepemimpinan, suksesi saja bisa berujung pada penjara. Apa iya model bernegara yang demikian mau diulangi? Partai hanya tiga pun simbol semata. Pemilu itu hanya legalitas formal, karena pemenangnya pasti Golkar dengan penggembira pertama P3 dan PDI sebagai penggembira kedua.

Semua kader yang akan menjadi ketua partai ketiga-tiganya harus sesuai apa yang menjadi keyakinan Soeharto. Mau menjadi anggota dewan, atas restu dari Soeharto, apalagi menteri dan seluruh lembaga tinggi negara, semua atas pilihan pribadi Soeharto sendiri.

Golkar sebagai golongan utama itu disusun atas ABG, ABRI atau militer, Birokrasi, dan Golkar. Tidak dinamai partai, toh memang tidak berjalan sebagai partai, selain kepanjangan tangan Soeharto semata. ABRI memiliki fraksi khusus dengan anggota angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, serta kepolisian.

Militer pun ada anak tiri dan anak emas. Hanya akhir-akhir masa Soeharto mulai turun, angkatan selain darat mendapatkan kesempatan. Toh tetap atas restu Soeharto yang bisa berkarir. Negara di dalam kendali satu tangan Soeharto.

Partai politik kini berjalan sebagaimana mestinya. Masih banyak catatan dan perbaikan memang. Apa iya mau dikembalikan menjadi satu  kendali dan komando dalam tangan otoriterisme? Kembali di dalam keseragaman yang dipaksakan.

Angkatan bersenjata, tentara yang sudah berjalan dengan sangat baik di antara ketiga angkatan. Ada kepemimpinan bergilir dan sesuai kapasitas, kapabilitas, apa iya mau dikembalikan ke masa lampau semua hanya AD yang bisa berkuasa? Apa pantas?

Lembaga tinggi negara sudah menggambarkan sebagai negara demokratis. Ada legeslatif yang mandiri, eksukutif yang dipilih rakyat dan mulai memberikan titik terang membaik, yudikatof pun mandiri tidak di bawah kendali pemerintah lagi, dan juga ada pengawasan. Kepolisian pun bisa berperan dengan baik. Ada kekurangan dan perlu perbaikan memang, namun lebih baik memperbaiki dari pada dikembalikan seperti model bernegara lampau yang kacau balau, selain bagi Soeharto dan kelompok ekslusifnya.

Jalur bernegara sudah pada alur yang benar. Kekurangan diperbaiki, dan itu bukan oleh yang pernah menikmati masa lalu, dan itu juga membuat masa kini terpuruk. Ketika sudah mulai beranjak membaik, apakah mau dikembalikan ke dasar lagi?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun