Belum juga menang dan berkuasa saja sudah memperlihatkan maksudnya, di mana mau "menghidupkan" lagi Orde Baru. Â Tanggapan dan reaksi yang mengatakan kalau masa Orde Baru yang dibanggakan Titiek Soeharto yang pernah menyandang Titiek Prabowo itu, ternyata banyak dari apa yang ia klaim. Keadaan berat, KKN merajalela, pembangunan hanya Jawa dan yang dekat dengan Jawa saja. Â Apa mau mundur kembali membangun yang hingga Papua itu balik ke masa lalu.
Apa yang disampaikan dan dicita-citakan Titiek juga sebenarnya gambaran nyata kalau Titiek itu belum tahu banyak politik dan hidup bernegara. Hanya anak tua yang bisanya omong enak karena tidak pernah tahu hidup nyata yang tidak hanya ada enak dan enak karena fasilitas orang tua.
Jawaban warga yang lebih menohok, namun sebenarnya itu adalah pribadi, bagaimana ia saja "memecat" Â Prabowo untuk menjadi suami dengan apapun alasan, mengapa rakyat diminta memilih dan memercayai yang pernah ia tendang? Toh bisa menjadi alasan bagi pemilih agar memiliki sudut pandang yang panjang, bahwa ada permainan yang melupakan nalar di sana. Jika tidak ada masalah dan baik-baik saja seperti yang ia nyatakan, masih menjadi suami dan keluarga yang utuh bukan?
Bisa dinilai bagaimana kedekatan Demokrat yang nyata itu ternyata malah digantikan kelompok yang tidak jelas seperti alumni gerakan tanpa memiliki kejelasan ide, visi, misi, struktur organisasi, dan pemimpin yang jelas. Lebih mendekat pada partai yang hanya mengandalkan nama-nama anak presiden masa lalu dengan segala catatan kekerasan dan KKN yang demikian kental.
Pernyataan bahwa Orde Baru itu baik, jika salah menyikapi bisa berabe. Daya ingat yang pendek dari sebagian bangsa ini mudah dimanfaatkan mereka untuk mengubah persepsi dengan pernyataan swasembada pangan yang hanya sejenak. Stabilitas politik dan keamanan. Selain itu banyak pemilih yang sama sekali tidak merasakan sama sekali seperti apa Orde Baru mengelola negara.
Jauh lebih berbahaya KKN dari pada hanya sekadar klaim swasembada pangan yang tidak lama itu. Menyembunyi data bahwa banyak masalah namun seolah-olah sukses dan gilang gemilang. Jika tidak salah, pasti Soeharto tidak akan turun dengan tidak hormat demikian.
Benarkah stabilitas keamanan dan politik yang diagung-agungkan itu? Benar dalam arti yang sangat sempit, karena militeristik pendekatan yang digunakan demi menegakan keamanan. Perbedaan dijadikan pembenar untuk mengerahkan militer. Polisi saja di bawah militer, jelas warna militeristik sebagai panglima negara.
Berbicara pergantian kepemimpinan, suksesi saja bisa berujung pada penjara. Apa iya model bernegara yang demikian mau diulangi? Partai hanya tiga pun simbol semata. Pemilu itu hanya legalitas formal, karena pemenangnya pasti Golkar dengan penggembira pertama P3 dan PDI sebagai penggembira kedua.
Semua kader yang akan menjadi ketua partai ketiga-tiganya harus sesuai apa yang menjadi keyakinan Soeharto. Mau menjadi anggota dewan, atas restu dari Soeharto, apalagi menteri dan seluruh lembaga tinggi negara, semua atas pilihan pribadi Soeharto sendiri.
Golkar sebagai golongan utama itu disusun atas ABG, ABRI atau militer, Birokrasi, dan Golkar. Tidak dinamai partai, toh memang tidak berjalan sebagai partai, selain kepanjangan tangan Soeharto semata. ABRI memiliki fraksi khusus dengan anggota angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, serta kepolisian.
Militer pun ada anak tiri dan anak emas. Hanya akhir-akhir masa Soeharto mulai turun, angkatan selain darat mendapatkan kesempatan. Toh tetap atas restu Soeharto yang bisa berkarir. Negara di dalam kendali satu tangan Soeharto.