Keadaan tidak makin membaik ketika kampanye berjalan lebih kurang tiga bulan. Demokrat dan Pak Beye makin merasa sangat terjepit, di satu sisi berjuang demi pemilihan legeslatif yang makin tidak mudah, ada juga kewajiban lain menawarkan yang bukan kehendak sendiri. Konsekuensi pahit yang harus diterima. Sebenarnya hal yang dialami semua kontestan pemilu 2019, namun tudingan dan tagihan itu yang membedakan.
Keadaan makin panas karena semua hanya mau menagih dan bertanya soal janji, tidak ada yang mau saling melakukan dan akhirnya ah ha benar juga. Itu yang makin jauh dari harapan bisa terjadi. Kekalutan demi kekalutan yang sangat bisa dimengerti.
Sandi datang dengan penyelesaian ala sinterklas dan tukang sulap. Abakadabra... Kami, saya dan Mas AHY akan melakukan keliling dan kampanye bersama. Indah ya, namun naif. Apakah sesederhana itu politik dan kepentingan politik itu?
Apa yang terjadi selama ini, riuh rendah, saling silang pendapat dan ujungnya saling tagih itu semua berkaitan dengan suara pemilih dan ada agenda khusus dari SBY adalah 2024. Tidak mungkin AHY hanya menjadi penonton terus menerus sedangkan sudah meninggalkan karir militernya.
Posisi AHY dan Sandi itu relatif sama saat ini, namun jika Sandi menang, jelas AHY makin jauh dari harapan untuk menjadi RI-1, kandidat jelas akan menjadi milik Sandi. Keadaan makin runyam dan buruk bukannya membaik.
Apa yang dilakukan Pak Beye itu demi 2024, usai 2017 dan 2019 dengan berat hati tersingkir secara tragis dan oleh orang yang sama. Apa iya Sandi juga dengan rela hati mau berbagi jalan dan karpet merah usai ia bisa merebut dua kali dengan sukses dan gilang gemilang itu?
Demokrat tentu telah membaca dengan baik peta persaingan di 2024 nanti. Keadaan sangat berat jika membiarkan Sandi melangkah di karpet yang sebenarnya disiapkan untuk AHY itu. Karpet yang dipersiapkan dengan hati-hati, matang, dan cermat itu begitu saja terenggut.
Bagaimana SBY membangun Demokrat yang ia yakini adalah jalan satu-satunya untuk masuk istana. Menyaksikan banyak koleganya terpental karena tidak memiliki partai. Prabowo dan Wiranto mengalami hal itu. Ia tahu persis. AHY perlu kendaraan yang terbaik.
Perang urat syaraf dan psikologis semata yang ditampilkan di antara mereka. Mereka seolah bertikai agar semua diliput dan semua mendapatkan efek dari pemberitaan yang masif. Ingat media juga suka cita karena bahan tersedia, tinggal ketik ulang, selesai.
Perlu perhatian dari para pemilih, untuk melihat siapa yang ppaut dipilih itu, apakah hanya orang yang fokusnya kekuasaan dan kursi semata, dengan menebarkan kebohongan, dan melupakan teman itu layak jadi pemimpin? Ketika teman saja ditelikung, bagaimana dengan rakyat yang bisa saja dianggap tidak ada ikatan sama sekali bukan?
Apa yang ditampilkan mereka, baik settingan ataupun benar-benar terjadi sebenarnya adalah  pembuktian siapa yang lebih patut diberikan kepercayaan. Pilihan cerdas perlu juga melihat rekam jejak, bukan?