Cukup menarik apa yang ditampilkan Prabowo dan kawan-kawan selama ini. Selain  kesalahan demi kesalahan yang ditutup dengan memohon maaf, abai akan program, bahkan dua presiden menyatakan yang sama, mereka juga asyik untuk mengibuli rekan koalisi mereka. Usai, belum selesai dengan sepenuhnya juga sih, PKS, kini Demokrat yang merasa dikibuli.
Jadi teringat kisah kanak-kanak Pinokio, yang aslinya boneka kayu, ketika berbohong, hidungnya akan bertambah panjang. Dongeng anak-anak klasik yang tidak lekang oleh zaman, dan malah makin marak, ketika bohong demi bohong itu menjadi gaya berpolitik sebagian pihak jelas karena miskin esensi dan prestasi.
Patut dinamai politik Pinokio bagi pelaku kebohongan sebagai sebuah gaya berpolitik. Mengapa gaya berpolitik? Iya karena program tidak terpikirkan, kebersamaan dan komunikasi lemah sekali, namun malah menjual dan memproduksi tiada henti-hentinya kebohongan. Ketika terungkap, akan menyeret pihak lain sebagai pelaku juga, dan mentok adalah permintaan maaf.
PKS sebagai korban utama mereka sudah cukup lama menggeliat, menarik perhatian Prabowo-sandi bahwa mereka hampir kehabisan oksigen karena perilaku mereka di dalam kebersamaan politik. Hanya mengatakan iya, iya, saja. Namun keputusan akhir tetap di tangan Prabowo. Usai calon wakil presiden yang dilabeli atas rekomendasi ulama, bergelar ulama pun tidak dilirik, eh Jakarta pun tersandera politik pusat.
Cukup menarik tarik ulur Jakarta ini, usai Taufik si eks narapidana korupsi  dana KPU itu menyatakan bahwa PKS memiliki hak untuk mengisi jabatan wakil gubernur, kemarin menambahkan bukan dua kandidat. Jika dua dilakukan fit and proper test, bagaimana mau memberikan rekomendasi dua juga. Harusnya lebih dari dua. Mengapa tidak ketika pertemuan itu, atau waktu yang tidak lama setelah itu. Apa yang dibicarakan jika demikian, apalagi ini ada kecenderungan hanya mengulur-ulur saja. Tidak ada esensial yang baru diungkapkan.
PKS memilih untuk tidak lagi frontal memperlihatkan sakit hati mereka. Karena rongrongan dari dalam tidak kecil juga. Energi mereka terkurasbanyak. Mereka hanya tidak akan bekerja maksimal. Mematikan mesin yang dulu dinyatakan sebagai ancaman, bisa saja tetap terjadi.
Cukup menghentak ketika SBY dalam waktu yang hampir berbarengan ternyata mengeluarkan pernyataan yang identik mengenai Prabowo dan langkah politisnya. Terjadi saling tuding antara Sekjend Gerindra dan SBY. Cukup panas juga.
SBY sebagai presiden dua periode sampai menyatakan bahwa ia sebagai calon presiden dua kali dan menang, tidak pernah memaksakan ketua partai politik untuk kampanye atas nama SBY. Telak juga jawaban SBY atas pernyataan capres gagal dua kali pula ini. Pantaslah kalau SBY itu marah, meradang, dan merasa seolah tidak dihargai. Siapa sih mereka ini, kan hanya pengusung capres, lha SBY kan ketua umum Demokrat, deklarator, dan juga presiden dua periode lagi, tidak patut dipaksa dan diusik untuk turun "kelas" seperti ini.
Pernyataan kalau Prabowo tidak menguntungkan itu sangat jelas upaya terakhir yang bisa dilakukan Pak Beye yang merasa mentok dan tidak lagi berdaya sebagai sebuah partai besar dan dikalahkan oleh janji kardus. Itu yang membuat jengkel dan marah. Keberadaan Demokrat bisa di ujung tanduk, namun malah disia-siakan, bukannya ditawarkan bantuan, malah ditagih janjinya. Macam mana pula ini komunikasi politiknya.
Lebih menyesakan lagi kala hadir koalisi keumatan, tanpa memasukan SBY di dalamnya, termasuk Demokrat di sana. Ini jelas sudah tidak patut dimaknai sebagai kebersamaan. Lebih kurang ajar lagi karena sebagai partai pernah memenangi pemilu malah disingkirkan oleh perkumpulan sama sekali tidak jelas. Pemimpinnya pun kabur tidak jelas demikian.
Wajar ketika SBY dan Demokrat meradang. Apa yang mereka terima bukan hanya sekali namun berkali-kali. Kisah kardus jelas awal dari kesakitan Demokrat yang amat sangat. AHY tersingkir secara tragis karena adanya pilihan yang tidak bisa dimengerti oleh Demokrat. Seperti abg patah hati, mereka mengatakan sudah melupakan, namun tetap saja hanya di bibir, mereka masih mengingat itu dengan kuat dan menjadi andalan ketika ada masalah.