Menarik apa yang disampaikan Titik Prabowo dulu, kini Titiek Soeharto mengenai politik kekinian. Jika mantan suaminya, Prabowo menang, Titiek akan membuat gaya Orde Baru di dalam warna politiknya. Langsung saja reaksi warga net riuh rendah. Tentu saja kesaksian betapa  susahnya era itu lebih dominan.
Sebenarnya tidak bisa juga demikian saja diperbandingkan, era berbeda, zaman berbeda, dan masa yang lain pula. Namun ada nada dasar yang sepakat, bahwa Orde baru bukan rujukan yang baik jika mau dihidupkan lagi.  Memang benar bahwa ada hal-hal baik dalam pemerintahan panjang Soeharto itu, paling tidak dua hal, repelita-pelita dan GBHN yang membuat jelas hasil pembangunan dan mau ke mana arah bangsa ini, jika demikian, rujukannya jelas, oposisi pun tidak bisa dengan seenak wudelnya nyinyir tidak karuan.
Realitas yang Tidak Dipahami Titiek
Susah melihat dan mencerna bahwa Titik akan paham keadaan rakyat dan bangsa, karena keberadaan di dalam rumah gadingnya. Mana tahu kesulitan yang ada, sebagaimana warga net nyatakan. Titiek tidak akan paham bahwa program bapaknya itu sama sekali tidak menyentuh rakyt, bagi dia bapaknya sukses, gilang gemilang, dan memberikan dampak lua biasa bagi bangsa dan negara ini.
Sebenarnya naif juga jika mengatakan Titiek tidak tahu apa-apa, toh di depan mata dia melihat demo 98 yang  berdarah-darah, jika tidak ada hal yang buruk, maka dihidupkan lagi, apa ada demo berdarah seperti itu? Jelas tidak. Artinya dia tahu ada masalah, namun tidak mau tahu.
Titiek sangat tidak siap dengan politik hari ini, kondisi yang dihadapi Jokowi lagi dengan segala reputasi, prestasi,  dan  kinerja jelas. Tawaran, ide, gagasan, dan harapan cerahnya Orde Baru itu naif. Susah melihat prestasi gilang gemilang yang hendak dicapai.
Apa sih yang diingat dari Orde Baru?
Yang baik tentu ada, meskipun tidak juga signifikan jika berhadapan dengan apa yang merugikan. Kebaikan sudah disebut di atas, di mana ada Pelita-Repelita. Dengan demikian akan jelas apa yang mau dicapai, target, capaian, dan akhirnya evaluasi atas realisasi pembangunan yang direncanakan. Kubu oposisi pun dengan demikian, karena dirembug bersama-sama, tidak hanya mengeluarkan nynyiran, namun kritik berkualitas. Apalagi jika dengan keterbukaan era elektronik saat ini. jauh lebih bagus.
GBHN. Ini soal nama, jadi ketika pemerintah itu ada pedoman yang harus dijalankan dengan jelas, terukur, dan pasti, tidak akan dengan mudah lahir demo ganti presiden, ganti pemerintah seenaknya saja, namun ketika capaian itu gagal, apa yang perlu dilihat, bagaimana itu disikapi. Jelas parameternya, bukan semata klaim dan ingatan yang kadang disesatkan itu.
Itupun belum bisa seutuhnya dinilai bagus dan sukses, masih Jawa saja yang maju, sedangkan lainnya, masih sama juga dengan era prakemerdekaan. Apa lagi yang mau diingat dan dihidupkan lagi jika demikian?
KKN
Jelas penyakit kronis dan hingga detik ini masih demikian kuat merongrong hidup bersama bangsa ini.  bagaimana susahnya mengubah pola pikir suap dan kolusi yang berujung korupsi itu. Bagi yang mencari kerja era 90-an akan tahu dengan  baik betapa sulitnya masuk PNS kala itu, apalagi BUMN, dan Polri-TNI. Hanya mereka yang orang tua, pak dhe, bu dhe, dan kerabatnya ada di sana dengan amplop coklat yang bisa masuk.
Ini pengalaman rekan, ia mendaftar untuk mengisi formasi pengembangan RSUD. Dari 400-an pendaftar dibutuhkan hanya sekitar 40-an. Tahap demi tahap ia lalui, pada tahap akhir hanya diberi amplop coklat tanpa keterangan apapun. Ia menyimpulkan artinya uang. Ini tahun pertama Soeharto lengser. Apalagi sebelum-sebelum itu, tentunya jauh lebih parah.
Mau jadi dewan baik pusat atau daerah tingkat I dan II mana bisa tanpa restu Cendana dan kepanjangan tangannya. Proyek pun demikian, semua ada di tangan Tomi dan kakak-kakaknya, ini yang lebih menyenangkan Titiek mungkin. Tidak bagi rakyat dan semua yang suka iklim berusaha yang bebas.
Apalagi PNS dan semua yang menjanjikan, sekolah kedinasan, sekolah negeri, PTN sama saja, semua perlu uang dan uang. SMP dan SMA negeri favorit pun demikian, kalau tidak lewat pintu belakang dan uang, mana bisa masuk. Banyak justru siswa dan mahasiswa potensial hilang.Mosok hal seperti itu yang mau dihidupkan lagi sih?
Penegakan hukum yang sangat tidak jelas. Kekuasaan trias politika hanya nama, sedangkan keputusan ya mutlak di tangan Cendana dan kepanjangan tangannya. Susah berkelit jika mengusik keberadaan anak-anak Cendana ini.
Nah apakah iklim usaha yang sudah mulai berjalan baik. Persaingan relatif sehat, dan pendidikan dan pekerjaan dilakukan dengan transparan itu mau dikembalikan ke era lampau itu? Â Benar bahwa masih banyak catatan dan perlu perbaikan, namun jauh lebih baik jika bukan era Orba yang menjadi rujukan.
Titiek mungkin lupa bahwa Abu Rizal Bakrie pernah jualan ini dan membuat Golkar makin tenggelam. Â Pandangan politik yang sangat miskin dari Titik ini juga sangat bisa dimengerti karena waktu ia belajar hidup di dalam kemewahan, mana mampu memberikan sikap kritis dan cerdas melihat realitas.
Ketidakpahaman Titiek karena kacamata yang ia kenakan hanya kacamata kuda, tidak pernah menangkap hal lain yang sangat jauh berbeda di balik Cendana itu begitu jauh berlainan. Mungkin perlu belajar dari Pangeran Gautama yang mamu menjadi Budha karena tahu realitas di balik istana yang tidak segemerlap apa yang ia alami.
Masih perlu belajar banyak. Jauh lebih penting  mengubah bandit demokrasi ala bapaknya yang bandit menetap dan kini berganti bandit menggembara, namun dampaknya tidak berbeda. Itu saja perbedaan Orba dan kini. Banditnya pun produk masa itu.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H