Puber kedua sebenarnya hanya istilah dalam perkembangan kepribadi yang tidak nyata. Hanya karena perilaku mirip dengan kondisi ABG, yang suka bersolek, bertingkah berbeda dengan lawan jenis, dan ribet dengan penampilan, yang biasanya tidak demikian.  berbeda dengan perkembangan psikologis lainnya seperti anak-anak, puber, remaja, dewasa, dan seterusnya.
Puber kedua toh juga tidak mesti dialami, dirasakan oleh pelaku ataupun orang terdekatnya, sebagaimana perkembangan lainnya. lebih cenderung kasus khusus, di mana memang kembali seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Lama-lama di depan cermin, memilih pakaian menjadi ribet, termasuk kaum laki-laki lho.
Dulu,  awal-awal berjumpa kembali dengan rekan-rekan SMA, dalam WAG, ada kecenderungan beberapa orang hanya mengobrol dan keluar jika rekan itu yang berkomentar atau membuat status. Saya mengatakan pada admin dan pembuat untuk hati-hati karena masa usia kritis ini. Yang sering disebuat puber kedua itu.
Mengapa ada keadaan demikian?
Kondisi yang jauh berbeda, di mana masa SM atau SMP dulu takut, dengan berbagai alasan, bisa karena malu, tuntutan belajar, atau kalau segalanya dan sebagainya. Pada kondisi awal 40-an orang sudah tidak lagi bicara minder, takut, atau cemas. Apalagi jika memang mapan secara ekonomi. Apa yang bisa menghalangi. Karang penghalang masa lalu runtuh.
Posisi mapan, matang, dan berkeluarga yang sudah berjalan kisaran dasa warsa mulai menumbuhkan kejenuhan dan mulai mencari kondisi dan situasi berbeda. Diperparah jika komunikasi pasangan suami istri memburuk dan ada peluang bahkan menciptakan peluang dengan mencobai diri kembali bernostalgia masa lalu.
Ada perasaan tertantang untuk membuktikan bahwa masih laku dan jagoan. Identik dengan abg lagi. Mulai datang awal-awal penyakit seperti diabetes, jantung, darah tinggi, dan itu bisa menjatuhkan mental banyak pria. Mengadakan relasi dengan lawan jenis mau menutupi kegagalan bahwa ia mulai menua.
Anak-anak mulai beranjak remaja dan dewasa awal, tidak lagi perlu menghabiskan banyak energi, paling beralih ke uang, waktu yang ada dipakai untuk berinteraksi dengan yang lain. Sangat wajar dan alamiah.
Diperparah dengan kemajuan teknologi informasi yang tidak terbatas ruang dan waktu. Bukan hanya tembok dan dinding kamar tertembus, di bawah selimur yang sama saja bisa terjadi interaksi dengan partner yang lain.
Keadaan yang toh hampir semua menghadapi dan mengalami. Jika diikuti hancur dan jatuh pada kesakitan demi kesakitan. Pilihan lain adalah menikmati.
Menikmati sebagaimana usai siang adalah sore, malam, dan kembali pagi, dan menuju siang lagi, ritme yang sangat-sangat alamiah, siklus hidup manusiawi, ingat tanpa melibatkan dan mengorbankan pihak lain. Memilih untuk  mengikuti hanya diri sendiri yang jadi "korban" tanpa menyakiti pasangan, anak, dan anak serta pasangan orang lain.  Sikap ini  hanya seperti orang berpuasa, bertarak, dan bermati raga. Mengesampingkan kesenangan dan kenikmatan sesaat. Menahan haus dan lapar sesaat juga. Itu tidak akan lama kog.
Jika sudah terlanjur, apa yang perlu dilakukan?
Menemukan akar masalah bersama-sama. Ini soal komunikasi, bagaimana perbedaan laki-laki dan perempuan di dalam pola pikir dan bertindak itu belum dipahami dengan baik oleh pasangan suami istri. Merasa ada yang sesuai harapan, beralihlah pada yang bisa memenuhi harapan itu. Ah apa iya?
Mengingat kembali komitmen di dalam berkeluarga, apalagi jika sudah memiliki anak dan membutuhkan beaya yang sangat besar. Perpisahan itu memberatkan banyak pihak, apalagi anak-anak. Kembali pada komitmen awal akan banyak membantu,
Menemukan kembali puzzle, dan keping romantis, perjuangan, dan ketika  belum mapan, hal ini juga sangat membantu. Dengan demikian, akan menyadari bahwa peran pasangan sungguh besar, tidak mudah, ketika sukses itu ada pihak yang memberikan bantuan yang tidak kecil.
Pengampunan, sikap yang tidak mudah, karena orang sering berpikir balas, saling setimpal, dan hanya pada tahap melupakan. Melupakan ini kalau ingat akan menjadi bencana lebih besar. Pengampunan itu tidak lagi mempengaruhi sikap batin. Memang itu tidak mudah, dengan kerendahatian kedua belah pihak bisa sangat membantu.
Apabila hal-hal di atas belum bisa teratasi dengan komunikasi berdua, temukan rekan, pemuka agama, guru, atau kerabat yang memang bisa "mengalahkan" keduanya. Biasanya satu pihak merasa lebih hebat, tidak merasa bersalah, cari sosok atau figur berwibawa yang ditakuti, disegani, dan pihak yang keras kepala itu mau mendengarkan. Perlu pihak ketiga untuk mengatasi persoalan seperti itu.
Cinta itu membebaskan, menumbuhkan, dan mengembangkan, mosok hal itu ketika berpacaran saja, jelas tidak, namun sepanjang hayat dikandung badan. Menemukan kembali percik-perck cinta di kala akan meredup, jangan jadikan cinta menjadi benci, namun perkembangkan menjadi kasih yang akan memperkembangkan semuanya.
Tarik ulur, saling tuduh, dan merasa hanya ada kekurangan pada pasangan itu hanya rasionalisasi, pembenar atas perilaku salah dan tidak bertanggung jawab semata. Pasangan itu pribadi yang sama kog, tidak akan berubah, dan penghayatan itu yang berubah.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H