Pilpres dan pileg 2019 seolah malah makin mundur, di mana esensi untuk saling mempertajam prestasi dan harapan itu pudar. Seolah diam di tempat kalau tidak terlalu pesimis mundur. Â Kedua paslon riuh rendah namun bukan esensi berkampanye dan berdinamika politik, hanya berkutat pada nama semata. Nama kedua paslon, intirik, saling lapor, dan entah mau dibawa ke mana model poltik seperti ini.
Berbicara paslon, termasuk di dalamnya adalah timses, parpol pendukung dan pengusung, termasuk jelas yang utama kedua kandidat presiden dan wakil presidennya. Tidak hanya pada Si A sebagai capres atau si B sebagai cawapres, dalam dalam artian sangat luas sebagai tim dalam paslon itu.
Dimulai dari nomor urut 01. Pasangan incumbent yang memang bukan hanya dalam gelaran pilpres ini, sejak kemenangan lebih dari empat tahun lalu, nada dasarnya sama. Hanya dijadikan bahan kesalahan dan limpahan serta tuduhan kadang fitnah juga. Â
Suka atau tidak, bagaimana bisa ada bencana alam dan pesawat jatuh pun ujung-ujungnya ganti presiden. Dulu awal-awal menjabat hanya soal kancing baju dan cara berjalan turun atau naik pesawat saja jadi bahan berlama-lama.
Kondisi itu membuat energi terkuras banyak hanya untuk membela diri. Ingat ini juga penting karena didiamkan lama-lama berlebihan dan makin tidak mendasar.Â
Diam itu penting, tetapi meluruskan itu juga sangat penting, karena apa yang disampaikan sering asal-asalan dan membelokan persepsi secara serampangan. Mana ada katanya mendukung salah satu tokoh mereka yang diperiksa polisi toh lagu wajibnya ganti presiden. Ada bendera dibakar, ujung-ujungnya juga ganti presiden.
Apa yang terjadi jika tidak ditanggapi makin menjadi, eh ditanggapi katanya marah-marah, emosi, karena suaranya makin terkikis. Coba bayangkan energi untuk kampanye dan pemilu, sekaligus membangun karena masih emnjabat bisa habis jika tidak mampu mengelola dengan baik.
Mengatakan prestasi yang dicapai katanya bohong, katanya pencitraan, katanya tidka butuh, namanya pemerintah membangun itu jelas kewajiban. Salah sendiri ada di luar pemerintah sehingga tidak bisa memiliki prestasi, padahal sejatinya tidak demikian. berseberangan dengan pemerintah jika cerdas juga bisa memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Asal bukan oposisi waton sulaya.
Paslon 02
Asyik dengan tebar pesona sambil tebar blunder. Tim pemenangan sampai pusing harus klarisfikasi, meluruskan, menerjemahkan sehingga kadang malah jadi kacau balau. Kesibukan tim pemenangan itu malah bukan menawarkan program, figur yang dapat meyakinkan pemilih, namun lebih banyak menangkis bahwa pasangan yang mereka usung itu tidak bermaksud demikian.
Pola yang identik sebenarnya, membuat pernyataan, atau bereaksi atas peristiwa, kemudian ternyata salah lagi salah lagi dan meminta maaf. Mau tidak mau, klarifikasi, tangkisan, dan meluruskan dari tim pemenangan dan partai pengusung kehabisan energi hanya untuk hal itu.
Jika itu adalah sebuah strategi kampanye menjual derita, atau memang asal  tenar, lha buat apa pemimpin kog memikirkan hanya kegaduhan dan keriuhan namun tidak ada esensi yang ditawarkan bagi bangsa dan negara. Ide baru pun irrasional, utopis hanya indah di ide namun tidak mungkin diaplikasikan.
Pemimpin itu bukan hanya soal gagasan dan ide, namun bagaimana ide itu diubah menjadi wujud nyata. Bagaimana jika ide itu hanya utopis mau dinyatakan sebagai sebuah hasil dan produk yang bermanfaat. Jangan-jangan prosesnya bagaimana pun belum terpikirkan.
Melihat perjalanan kampanye yang sudah berjalan, miris melihatnya, tidak ada yang baru yang dimiliki oleh rakyat sebagai bentuk keyakinan akan yang baru dan lebih menjanjikan. Susah posisi pemerintah sekaligus incumben menghadapi rival yang mengandalkan pokoke pemerintah ganti dan salah.Â
Apa yang seharusnya adalah mengganti itu karena apa dan apa yang ditawarkan sebagai solusi lebih baik. Â Memang iya akan bisa mengubah tempe yang setipis ATM menjadi setebal bantal tanpa kerja keras, hanya jualan kecap ke mana-mana dengan segala blundernya itu? Ini negara bukan hanya perusahaan yang berjalan tergantu uang. Negara itu kepala dengan segala kepentingannya dan perlu diakomodasi.
Susah jika paslon 01 hanya fokus menangkis dan menjawab nyinyiran terus. Bagi saja energi itu untuk yang bocor-bocor alus, dipakai untuk menjawab nyinyir tidak penting. Yang cerdas, berkualitas, dan mumpuni tidak perlu menangani yang receh-receh itu.
Partai politik juga bisa kiamat jika pusatnya hanya pada capres saja. Mereka harus kerja keras dengan PT bisa masuk Senayan. Jangan kaget kalau permainan culas ala Demokrat membuat mereka bisa melambun lagi.
Gajah bertarung, Demokrat mengambil untung, itu sangat mungkin. Jangan-jangan ini nanti malah hanya Demokrat  yang kampanye, karena mereka memang tidak tahu malu, menjelek-jelekan kedua kubu demi kepentingan mereka sendiri.
Sayang jika demokrasi yang dihasilkan dari reformasi dengan berdarah-darah dikalahkan oleh orang-orang gila kuasa semata. Negara ini terlalu banyak bandit demokrasi dan petualan politik, namun kurang negarawan. Bedanya sudah jelas bukan?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H