Salah satu anak kandung reformasi adalah kelahiran partai politik. Salah satu yang menikmati itu bernama PAN. Deklarator utamanya Amien Rais. Tentu masih ingat apa yang dijadikan bahan untuk menghentikan laju Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, KKN yang menjadi sasaran, di mana korupsi merajalela, kolusi menjadi gaya hidup birokrasi, dan nepotisme merupakan jaringan utama elit negeri.
Sebagai salah satu hasil utama reeformasi, tanpa menafikan keberadaan partai yang lain, PAN memiliki beban moral yang lebih besar. Mereka seharusnya berbeda dengan Golkar misalnya, atau PDI-P dan P3. Â Mereka memang produk lama, orang lama, dan bisa dipahami jika masih bergaya lama. Toh malah tidak parah-parah amat.
Mencermati dari motivasi dasar KKN, patut dilihat apa yang dilakukan PAN.
Korupsi. Tidak usah dibahas panjang kali lebar jika mengenai korupsi oleh kader partai mereka. Baik pusat, daerah, mau gubernur atau bupati, bahkan hingga pimpinan dewan ada dari PAN. Mirisnya, Zumi Zola yang termasuk generasi muda, yang pada tahun 98 itu belum menjadi pejabat dan tahu persis perjuangan mahasiswa, pun terseret penyakit mendasar birokrasi bangsa ini.
Belum lagi jika berbicara mengenai konsep korupsi sebagaimana idealnya, ternyata mereka masih jauh dari itu. Bagaimana seorang mantan menteri, ketua umum partai, dan ketua majelis aktif, namun menyatakan bahwaa gaji gubernur itu gajinya kecil, jadi jika korupsi itu sangat wajar. Secara konsep saja sudah sesat. Tahu kalau gaji memang kecil mengapa ngotot menjadi kepala daerah? Dan cara menjadinya pun penuh permainan uang.
Tidak ada upaya untuk menghentikan kebiasaan suap-menyuap, yang termasuk dalam korupsi itu, namun malah seolah memberikan "peluang" dan pembenar karena gaji kecil. Ternyata adik-adiknya pun terlibat di dalam pusaran korupsi di daerah masing-masing.
Kolusi. Perilaku yang akan berkelindan dengan korupsi, suap menyuap, dan aktivitas sejenis. Birokrasi era Orde Baru memiliki kepercayaan, kalau dibisa susah mengapa harus dibuat mudah. Pat gulipat anggaran untuk kepentingan sendiri, toh diakui langsung oleh para pelaku yang berasal dari partai ini. Lagi-lagi Zumi Zola mengaku kalau para tim suksesnya, orang dan kelompok yang membawanya menjadi gubernur ternyata menagih "balas budi" berupa proyek.
Dulu, proyek ya dari situ ke situ kalau tidak ada sulung ya anak laki-laki yang bungsu. Tol di sini dikerjakan oleh Mbak Anu dan pelabuhan sini oleh Mas Inu. Di mana-mana hanya mereka ke mereka, soal caranya  bagaimana tidak perlu tahu.
Ternyata era reformasi tidak banyak berubah. Malah lebih mengerikan karena pengusaha dan politikus jauh lebih berkuasa atas seluruh hidup berbangsa mau pusat dan daerah sama saja. Mau mengurai jauh lebih sulit karena tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Lebih banyak separo bener.
Belum lagi perilaku partai politik yang memainkan uang yang sering dinamai uang mahar, oleh orang PAN disebut dana operasional. Semua pakai uang, ketika mau menjadi calon perlu uang, dari siapa? Pengusaha yang nantinya akan menunjuk proyek yang mau dikerjakan. Proyek itu bukan kebutuhan daerah, negara, atau rakyat, namun kebutuhan timses yang terdiri atas pengusaha yang memang sejak awal sudah membuat rencana itu.
Nepotisme, sejatinya, keluarga menjadi apa pun itu sah-sah saja. Tidak ada yang salah, sepanjang memang ikut prosedur, bukan semata prosedural lho ya, dan mereka memang kompeten di dalam dunia yang digelutinya. Salah satu yang menjadi sorotan adalah adanya isu kalau calon pengganti Taufik Kurniawan yang ditangkap KPK akan digantikan anak Amien Rais, yang bernama Hanafi Rais.
Kecenderungan nepotis lebih mengemuka karena kemampuan Hanifi pun belum benar-benar teruji untul level pimpinan dewan. Masih banyak nama lain yang jauh lebih berpengalaman. Nama besar Rais memang lebih menjual.
Kiprahnya di dunia politik pun belum terdengar dengan baik, bagaimana ia menanggapi isu, wacana, atau peristiwa. Masih ada Drajad Wibowo, atau nama-nama lain yang lebih berpengalaman di dewan dari fraksi PAN.
Berbahaya juga bagi nama Amien Rais yang sudah buruk akan lebih buruk. Jangan disepelekan kisah RS kemarin yang menyeret Amien Rais hingga diperiksa polisi. Kalau anaknyaa yang menggantikan TK, orang bisa saja menuduh Amien yang bermain sehingga TK menjadi pesakitan agar anaknya bisa naik dengan mudah.
Nama Amien dipertaruhkan juga bukan malah membantu lebih baik karena ia tidak berdaya menjadikan PAN sebagai partai modern. Usai besan menjadi ketua umum, kini anak menjadi pimpinan dewan. Jauh lebih parah dibandingkan partai-partai lain. partai-partai lain lebih bagus, Demokrat yang agak mirip, PDI-P yang masih beraroma kultus pun tidak begitu-begitu amat.
Lebih dua puluh tahun ternyata reformasi masih berjalan di tempat, bahkan oleh pelaku utama dan produk utama. Reformasi belum membawa dampak yang signifikan jika melihat "prestasi" PAN.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H