Kisaran akhir 2015, usai terpilih menjadi presiden PKS, Sohibul Imam merapat ke istana. Tentu semua juga paham arti sowan, datang, dan merapat ke istana itu artinya apa. secara politis tentu itu berarti mengalihkan dukungan, karena pada kepemimpinan sebelumnya ada pada barisan yang berhadapan. Hal yang lumrah tentunya sebagaimana Golkar, P3, pun PAN yang menduakan kakinya.
Golkar balik badan usai kalah dalam pilres. Dalam berpolitik itu sangat biasa, bahkan sejak dini menyatakan Jokowi dua periode. Termasuk paling solid mendukung Jokowi untuk tetap dua periode. Perjalanan politik yang penuh perhitungan tentunya. Mesin partai kawakan yang sangat lihai.
PAN pun berganti kepemimpinan langsung berubah haluan dan mendapatkan jatah di dalam kabinet, meskipun perilakunya tudak jelas. Mendukung pemerintah namun dalam banyak isu lebih memilih bersama barisan oposisi. Apa yang dilakukan pun seolah tidak cukup mendasar di dalam bersikap.
PKS malah urung ikut dalam gerbong pemerintahan. Pun di dalam koalisi oposisi sikapnya sangat tajam, dalam arti yang tidak simpatik, lebih cenderung sontoloyo, dan nyinyir. Beda anatara kritik yang kritis dan nyinyir itu jelas. Bagaimana kritik itu berdasarkan fakta dan ada kemungkinan perbaikan yang ditawarkan. Namun apa yang disampaikan sering asal bunyi dan tidak memiliki dasar.
Soal bom Surabaya, jelas siapa pelaku, afiliasi ke mana, namun mereka lebih memilih mengaitkan dengan politik. Tudingan bahwa itu adalah upaya adu domba, bisa membuat polisi takut melakukan penelusuran dengan menyeluruh. Benar bukan soal dukungan secara langsung, namun itu bisa memberi bantuan nafas yang cukup melegakan para pelaku dna kelompoknya, bahwa mereka ada kesempatan untuk menghilangkan barang bukti dan lari karena adanya nafas buatan mereka yang sudah terpojok.
Dukungan kepada ormas terlarang HTI. Jelas HTI telah dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang, namun dalam perilaku mereka sering berkelindan dan saling bertaut. Entah siapa memanfaatkan siapa, atau malah saling memanfaatkan, karena mereka memiliki satu kesamaan gagasan namun berbeda dalam banyak paham, itu sangat mungkin.
Dalam sikap kader bahkan elitnya yang bernama Fahri, paling getol soal merusak nama baik KPK. Suka atau tidak, rela atau berat hati toh KPK masih terdepan dalam kepercayaan dan kinerjanya dalam mengatasi korupsi. Memang KPK masih banyak yang kekurangan, namun jika dibubarkan, apa jadinya?
Jelas ketiga hal itu yang paling nyata di mana posisinya jelas berseberangan dengan pemerintah. Di mana jelas sikap pemerintah terhadap terorisme itu kejahatan luar biasa. Pelaku beragama dan ada yang mengatasnamakan agama, namun jelas bukan soal agama, apalagi sentimen hidup beragama. Sudah berbeda pemahaman.
Menyikapi HTI pun pemerintah telah bersikap. Sikap yang berbeda dipilih PKS, di mana mereka bersama PAN dan Gerindra mendukung ormas terlarang itu memperjuangkan secara hukum hingga MA. Cukup aneh dan lucu, di mana orang dan lembaga yang tidak percaya lembaga hukum, kog menuntut di lembaga hukum. Lucu dan aneh, munafik sekaligus.
Pemerintah jelas mendukung penuh KPK di dalam upayanya menanggulangi penyakin akut korupsi. Tidak ada ide melemahkan apalagi membubarkan. Ide dan gagasan elit PKS jelas bertentangan dengan apa yang menjadi komitmen pemerintah. Hal ini jelas menjadi hambatan psikologis di dalam memilih jalur yang sama.
Bisa saja Sohibul Imam dengan beberapa gerbongnya hendak bersama dengan pemerintah, namun banyak faksi dan gerbong lain lebih memilih berseberangan, namun jelas dengan risiko paling parah, ternyata hanya menjadi pendukung dan penggembira semata. Mereka dimanfaatkan untuk menggerakan mesin politik yang memang jauh lebih solid daripada Gerindra.
Beberapa hal yang menunjukkan PKS sangat lemah dalam posisi tawar di dalam kebersamaan dengan Gerindra. Lepas dari isu kardus, toh memang PKS jelas hanya dimanfaatkan. Dan kalau pemimpinnya tidak bersikap dengan jelas dan tegas, patut bahwa kadernya menyatakan keluar.
Kisah wagub DKI yang berkepanjangan memperlihatkan sangat bahwa Prabowo tidak memandang ada rekan dan kawan setia di dalam koalisi. Ia lebih memilih mantan narapidana korupsi, jelas lebih buruk karena seolah tidak ada kader lain yang lebih bersih, apalagi jika berbicara di dalam kebersamaan.
PKS mengancam hendak mematikan mesin partai pun dianggap angin lalu oleh Prabowo dan partainya, jelas karena memang PKS sudah terbeli dan tidak lagi memiliki posisi tawar yang sepadan. Seperti pengekor yang menantikan remah-remah dari tuan besar Prabowo. Apa iya partai seperti ini masih dipercaya?
Belum lagi kisah panjang cawapres, jelas PKS tidak akan berani menjajakan diri menjadi bakal calon presiden di hadapan Prabowo. Mereka jelas tahu diri menyodorkan sembilan nama, dan tidak ada satupun yang dijadikan kandidat, dan tiba-tiba memilih koleganya sendiri dari partai Gerindra. Memang menguar soal kardus, dan kog akan jauh dari kenyataan bahwa kardusnya dipenuhi.
Melayang harapan menjadi salah satu politikus yang prestisius pernah memiliki kader yang pernah maju dalam kontestasi elit menjadi cawapres lah paling tinggi, tinggal impian. Sembilan nama melayang tidak jelas ke mana. Tanpa ada konfirmasi, padahal sudah memaksa segala soal sembilan nama tersebut.
Lebih parah, jabatan tidak cukup signifikan, namun strategis, ketua kampanye, apapun itu namanya, toh lepas juga. Padahal apa susahnya hanya menyempilkan nama kadr PKS, seperti Ali Sera misalnya yang telah keliling jualan kaos dan masalah itu. Eh tidak mau juga. Terbang lagi satu harapan.
Sejarah panjang PKS hanya dikadali di dalam kebersamaan dengan Prabowo, eh tetap saja mereka manda saja terus menerus hanya menjadi pengekor setia. Mesin politik mereka jelas lebih solid dibandingkan cara kerja Gerindra yang hanya memainkan hirarkhis militeristik. Khas dari atas dan komando, beda dengan PKS yang lebih luwes dan dinamis, lebih lama di dalam kaderisasi.
Bagaimana tidak membuat makin hari makin hancur kondisi PKS, jika elitnya malah hanya menjadi korban ketakutan terhadap Prabowo dan Gerindra. Identitas dan ideologi mereka kini hancur lebur, lebih terbaca sebagai penebar kebohongan dan hoax. Lengkap sudah usai korupsi dan kisru susila, kini menjadi agen kebohongan.
Sangat bisa dipahami kalau banyak kader yang memilih keluar karena jelas malu melihat partai dikelola dengan tidak memiliki martabat. Menggertak dan memberikan ultimatum berkali-kali toh tidak ditakuti, malah seolah diledek, halah diberi kardus toh diam juga.
Sangat wajar jika lebih banyak simpatisan melupakan salah satu point di dalam kaderisasi untuk tidak membangkang. Tentu mereka enggan untuk taklid, pada pimpinan yang ternyata sangat jauh dari sikap politikus yang seharusnya. Menyerukan kesalehan dan keagamaan namun perilakunya jauh dari ajaran agama. Agama apa coba yang mengizinkan korupsi, menyukai pornografi, atau menghianati negara? Kesatuan ucapan dan tindakan hampir tidak ada dalam diri elit PKS.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H