Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Partai ini Dulu Solid, Kini Sulit

1 November 2018   10:56 Diperbarui: 1 November 2018   11:04 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu produk reformasi adalah tumbuh kembangnya partai politik. Partai politik dengan mudah mati dan bangkit lagi, hanya dengan menambal sulam nama dan pengurusnya. 

Mengenai ideologi, tampaknya sama saja, toh yang agama perilakunya tidak patut jika dirunut dari ajaran agama. Yang nasionalispun dalam kondisi tertentu kadang sektarian. Sama saja

Salah satu yang seperti akan menjadi bintang adalah PK kala itu. Menjelma menjadi PKS yang bisa menapaki peringkat  atas. Pergantian pengurus dan pimpinan pusatpun relatif lebih adem, natural, dan sangat lepas dari sosok atau tokoh berbeda dengan partai lain.

Perjalanan yang cukup menjanjikan, bahkan bisa mengalahkan PAN dengan nama besar Amien Rais dan orang-orang politik lama dan kawakan. Putih yang seolah harapan baru. Namun itu tidak lama ternyata.

Mereka yang memiliki ciri militan oleh para pengikutnya ternyata rapuh, jauh lebih cepat hancur dibandingkan partai-partai lain. Dulu hantaman korupsi dan skandal lawan jenis saja masih banyak yang membela dan setia akan partai dan pilihannya.

Badai korupsi

Mengagetkan dan membuat tercengag kala pimpinan pusatnya yang langsung kena KPK. Kondisi makin berat karena pimpinan pusatnya. 

Selain korupsi ternyata ada skandal lawan jenis di sana. Dua noda yang sulit lepas dan itu berbeda dengan kasus-kasus lain. Fakta ini masih  membuat banyak kader dan simpatisan tetap loyal.

Laporan demi laporan mengenai skandal korupsi yang melibatkan petinggi dan pengurus PKS makin banyak. Hilir mudik memenuhi panggilan KPK membuat keadaan PKS makin sesak, tidak lagi solid.

Gambaran PKS Haus Kuasa

Ada dua indikasi haus kuasa PKS. Pertama, dari menteri bisa saja langsung ikut pemilihan kepala daerah, hanya sekelah bupati-walikota. Namanya jenjang karir akan menanjak, naik, bukan malah turun. 

Bayangkan saja dari menteri menjadi walikota-bupati. Dan ironisnya tidak sedikit yang kalah. Yang menang pun reputasinya tidak banyak terdengar. Nyaring terdengar malah menjadi bidikan karena korupsi. Contoh Nur Mahmudi. Pembangunannya tidak sepatutnya bekas menteri sebenarnya.

Dua, posisi mendukung pemerintah namun galak dan sadisnya melebihi oposisi, dua periode masa SBY berkuasa. Perilaku mereka yang ugal-ugalan dalam berpolitik jelas terbaca dan terekam oleh pemilih. Mereka bukan kritis namun perilaku asal-asalan.

Ditambah periode ini ketika mereka lebih banyak menjadi barisan sakit hati bukan lagi sekadar oposisi. Lebih banyak hal kontraproduksi yang mereka hasilkan. Pernyataan asal bunyi dan kepemimpinan yang lemah membuat mereka makin sulit dan terjepit.

Tampak jelas juga kementrian yang dulu ditangan PKS banyak kasus dan masalah yang menjadi penyebab lambannya pemerintahan kini. Tudingan pemerintah tidak becus dari mereka, mereka lupa peran politikus PKS juga besar. Soal beras, siapa mentannya dulu, soal olah raga, bagaimana sekarang bisa sukses. Soal kemenkominfo pun demikian.

Gagal dan gagal lagi dalam pilkada

"Kesuksesan" pilkada DKI seolah membuat mereka sudah memenangkan semuanya. Ternyata pola yang mau digunakan di daerah-daerah gagal total. Paling mauu diidentikan adalah Jawa Tengah, mereka gagal karena memang konteksnya berbeda. Namun dihantam saja dengan cara yang sama. 

Mereka susah untuk bisa bergerak karena memang  miskin inovasi di dalam berpolitik. Kecenderungan politik kebencian dan pecah belah membuat mereka makin diasingkan bahkan oleh rekan koalisi terdekat mereka.

Faksi dan Intrik di dalam 

Hal yang paling fatal jelas faksi dan intrik di dalam ini. paling parah jelas kasus Fahri Hamzah. Suka atau tidak, Fahri  faktor terbesar makin terbenamnya PKS  kali ini. 

saling lapor dan saling tudingnya Fahri dan sang presiden telah membuat makin kacau. Posisi pimpinan dewan jelas menjadi santapan empuk media dan media sosial. Setiap saat hanya ada berita tentang perselisihan PKS, bukan konsolidasi apalagi prestasi.

Sangat mungkin hal ini menular. Pimpinan daerah dan pengurus cabang mulai meninggalkan partai secara terbuka. Mereka merasa gerah dengan partai yang bertikai terus. Jika memang Fahri benar, mengapa Sohibul tetap  presiden. Artinya Sohibul juga kuat. Namun sebagai presiden, mengapa Sohibul tidak berdaya memecat Fahri. Ini jelas masalah.

Intrik  juga soal capres dan cawapres. Mereka sejak awal telah memilih sembilan nama, toh tidak ada perjuangan berarti dari mereka sendiri. Lobi politik itu penting dan harus, itu esensi politik. Toh mereka juga tidak berdaya. Tidak ada upaya lain. pun taggar ganti presiden oleh salah satu pimpinan mereka, seolah berteriak di padang gurun sendirian, tidak ada dukungan di sana. Ini memperlihatkan ada kerja di dalam kerja partai. Sulit untuk maju jika demikian.

Sikap kritis yang salah

Mardani Ali Sera, Fahri, dan banyak lagi kader PKS salah di dalam menjawab isu, kejadian atau peristiwa, dan wacana yang ada. Mereka sering salah dan melawan arus dalam konteks arus bukan soal banyaknya, justru yang benar. Bagaimana mereka meresons soal bom Surabaya, bagaimana menyikapi soal KPK dan seterusnya. Apa yang mereka usung kecenderungannya asal berbeda, waton sulaya, asal berbeda dengan pemerintah pasti benar. Belum tentu. Dan itu sering juga melawan kebenaran faktual.

Kesalahan demi kesalahan itu bukan diperbaiki, namun malah menuding pihak lain sebagai pelaku kesalahan itu. Lihat bagaimana ugal-ugalannya Fahri dalam menyatakan pendapatnya. Eh di depan presiden sikapnya jauh berbeda. Ingat berbeda itu sangat wajar dalam berpolitik, namun bukan munafik. Berbeda pendapat dan komunikasi itu lain konteks, namun yang diperlihatkan Fahri itu perilaku munafik semata. Bukan citra baik yang dibangun namun justru gambaran buruk.

Sikapnya mengenai HTI juga membuat orang malah jadi enggan menengok pada mereka. Jelas-jelas peradilan menyatakan terlarang. Mereka bergerak dengan liar dan bisa menjadi bola liar yang menghantam siapa saja. Toh sikap mereka soalah tidak bersalah dan berdosa. Mereka masih berteriak dua kaki. Munafik lagi dan lagi yang mereka tampilkan.

Kegagalan demi kegagalan dalam pilkada jelas memperlihatkan rapuhnya mesin politik mereka. Mendukung saja kalah, apalagi mengusung. Toh ini belum menjadi evaluasi mereka.

Apalagi posisi elit mereka yang kacau balau. Memecat Fahri yang gagal, diperparah memilih koalisi pilpres pun gagal total. Hanya harapan kardus semata, yang akan lebih banyak kardus kosong itu. Eh mengharap hanya wakil gubernur Jakarta pun  tidak mampu lagi.

Jelas benar pilihan kader dan pengurus daerah yang terang-terangan memilih keluar dari PKS. Apa yang diharapkan dengan pendekatan politik gagal total ala PKS tersebut. Kegagalan dalam politik itu biasa, namun bukan selalu gagal total begitu juga. Mengalah untuk menang itu ada, namun kalah terus-terusan ya tidak ada.

Ya wajar yang dulunya solid itu menjadi sulit karena kecewa, ketakutan yang diciptakan, dan perilaku munafik elit membuat mereka bubar cepat. Posisi sulit yang mereka jalin sendiri, karena pilihan sikap politik yang buruk.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun