Salah satu nama yang cukup kuat terlibat di dalam sengkarut RS adalah Hanum Rais. Di dalam kisah pewayangan, ada salah satu kejadian yang mirip, bagaimana Aswatama mati, yang membuat Durna putus asa dan akhirnya bisa terbunuh. Aswatama mati adalah hoax yang dipakai Pandawa karena nama gajah, hestitama yang mati.
Yudhistira menjadi sosok penting karena tidak pernah berbohong, sehingga Durna bisa terkelabuhi dan percaya sepenuhnya. Kata kunci penting adalah Yudistira didengar karena ia tidak pernah berdusta. Ketika ia berbicara sekelas Durna pun percaya dan terpedaya. Konteks di sini adalah siapa pelaku atau agen yang menyuarakan itu penting.
Dalam buku-buku inspirasi, sering ada salah satu kisah dengan berbagai varian, ketika sebuah desa ada ancaman dengan adanya perampok  yang biasa datang. Salah satu pemuda ditugaskan untuk  mengintai, dan ketika semua penduduk tegang ia berteriak ada perampok datang. Penduduk panik dan ia tertawa terbahak-bahak. Begitu terulang terus, dan ketika ia berteriak perampok datang orang tidak lagi menghiraukannya. Kampung habis dibakar.
Daesh atau ISIS menggunakan pola ini untuk mempersiapkan orang yang mau dieksekusi. Setiap hari dengan dalih latihan eksekusi, para korban tidak lagi ketakutan dan tegang, pas waktu eksekusi, wajah para korban sangat biasa, karena persepsi mereka adalah toh hanya latihan, dan ketika kepala mengelundung pun sangat biasa. Adanya pembiasaan.
Kisah ilustrasi tersebut, ketika dipakai dalam politik praktis, dapat dilihat sebagai berikut:
Tokoh atau agen yang dipakai menyebarkan berita, isu, atau wacana itu seharusnya telah teruji bahwa bisa dipercaya. Jadi orang tidak curiga dulu, bahwa ia dibohongi. Dalam kasus RS ini, maaf seribu maaf, yang berbicara, yang mengadakan konferensi pers, dan berteriak-teriak, memiliki kecenderungan lebih banyak nyinyir dan waton sulaya semata terhadap pemerintah.
Mirip dengan orang yang emnjaga kampung dan berteriak rampok-rampok dan malah tidak ada yang mendengar karena terlalu sering bohong. Pihak warga pun sudah waleh, bosan dengan isi yang itu-itu saja. Kedua belah pihak sama-sama sudah saling tahu. Artinya penggunaan kebohongan dan hoax, sudah basi, tidak lagi mempan.
Penggunaan hoax, isu yang tidak berdasar, separo fakta itu hanya sekali. Ingat kisah Aswatama itu hanya sekali, setelah itu tidak bisa diulang, karena Yudistira sudah  tercemar, tidak lagi bisa dipercaya karena sama saja pernah atau bisa berbohong. Apalagi yang setiap ada isu, ada kejadian muaranya satu saja, pemerintah. Orang jadi paham dan hapal, halah paling-paling juga bohong lagi.
Pengulangan hoax memperlihatkan minimnya ide, kreatifitas, dan program kerja yang diusung. Ingat kisah hoax Aswatama ini berkaitan dengan sikap frustasi karena Durna menghabiskan banyak prajurit dan tokoh dari kubu Pandawa. Posisi terdesak, bukan posisi normal.
Mengapa Hanum?
Cukup menarik, pemakaian figuran yang bernama Hanum ini.  Nama  yang masih cukup baru untuk menjadi salah satu agen di dalam menyebarkan kisah RS. Susah menilik ini lepas dari adanya rekayasa, dengan banyaknya orang dalam waktu yang relatif sama dengan isi yang identik, dan ujung atau muara, pemerintah. Nada yang seolah harmonis, susah kalau tidak ada dirijen yang mengatur itu semua.
Dokter, salah satu yang sangat meyakinkan untuk mengatakan kalau ada pengeroyokan dan pemukulan. Memberikan pengakuan kalau ada nenek-nenek mukanya lebam, bengkak, itu kekejian tidak terkira. Ingat dokter yang menyatakan, bisa sangat mempengaruhi orang yang sudah simpatik duluan.
Sayangnya ternyata ada dokter lain yang menyatakan sebaliknya. Kekacauan terjadi dan terbongkarlah semuanya. Pengakuan dari si korban yang dijadikan pelaku membawa urusan menjadi berkepanjangan.
Sedikit spekulasi, adanya kepentingan soal film, dengan adanya kisah ini dan Hanum memberikan pernyataan simpatik, bisa membuat filmnya juga ikut terimbas. Iklan atau promosi yang cukup sederhana. Soal  terbongkar, ya perlu sikap yang lain.
Nama yang masih relatif bersih dari hiruk pikuk kebiasaan memberikan pernyataan nyinyir dan separo data. Beda dengan tokoh-tokoh lain, yang belum berbicara pun sudah ditertawakan orang, dengan posisi ini, pilihan Hanum sebenarnya cerdik, pernyataannya yang terlalu berlebihan yang justru malah memperlemah apa yang ia sampaikan sebelumnya.
Kondisi yang makin tidak membantu bagi kebersamaan 02, karena beban makin berat. Orang yang masih relatif bersih pun sekarang sudah coreng moreng dan dipersamakan dengan apa yang biasa keluar dari mulut Fahri, Zon, dan kawan-kawan. Tidak ada lagi tokoh yang masih bisa memberikan pernyataan tanpa orang curiga ini benar atau separo benar, atau memang salah. Ini tentu tidak baik bagi persiapan pilpres.
Fokus koalisi yang hanya melihat kelemahan, dan menjatuhkan pemerintahan tidak membuat makin baik. Mengapa? Jelas mereka tidak memiliki program yang cukup menjual dan menjanjikan, maka mereka menbarkan kebohongan, kepalsuan, hoax, dan hanya mengincar kejatuhan pemerintah dengan segala cara.
Pembakaran bendera yang saling silang dan merasa benar sendiri. Padahal jelas ada kepolisian, peradilan, namun narasi yang diberikan jelas, arahnya akan membenturkan negara, dalam hal ini  pemerintah dengan agama tertentu. Padahal jika jernih dan lepas kepentingan toh jelas kog siapa yang bermain.
Kecelakaan pesawatpun dikaitkan dengan pemerintah. Telalu spekulatif dan sangat kasar jika mengaitkan pembakaran bendera dengan jatuhnya pesawat sebagai murka Tuhan. Apa iya Tuhan kog pendendam dan pemarah. Bukannya Tuhan Mahamurah dan Mahadil? Di mana murah dan adilnya jika pemarah? Kata Cak Lontong Mikir.....
Hanum sebagai dokter, penulis, dan politikus masih muda lagi, seharusnya memberikan tampilan, gaya berpolitik yang berbeda, menjadi agen perubahan yang lebih baik. Jika tidak bisa menjadi pohon beringin yang rindah, bisa menjadi rumput yang hijau menyejukkan.
Pilihan bebas di tengah arus politik yang penuh tipu daya, membelokan persepsi, mengapa harus terlibat di dalamnya. Sikap yang patut disesalkan sebenarnya. Sikap bertanggung jawab juga tidak ada, ketika ia sama sekali tidak meminta maaf malah tetap menuding ke mana-mana.
Melibatkan agama dan istilah keagamaan untuk membenarkan sikap teledornya. Jelas ini bukan gambaran intelektualis dan jiwa muda. Kasihan generasi muda namun pola pikirnya tua. Muda ternyata bukan hanya soal lahir dan kelahiran, soal pola pikir pun penting.
Apa iya politikus model demikian yang mau diberi kepercayaan? Ketika menggunakan kebohongan sebagai jalan mencapai tujuan? Â Apalagi ketika kecurangannya ketahuan tidak berubah malah mendapatkan kebohongan lain dan menuduh pihak lain sebagai pelaku yang lebih jahat?
Gambaran luas di dalam kebersamaan 02 memiliki warna dan jiwa yang sama. Artinya keputusan sangat jelas buat apa memberikan dukungan dan pilihan pada model politikus seperti itu. Kursi adalah yang utama. Soal proses tidak menjadi pertimbangan.
Penilaian moral itu idealnya adalah motivasi baik, cara yang dipakai pun baik, dan hasil sekiranya juga akan baik. Bagaimana bisa proses buruk dipercaya menghasilkan hasil yang baik?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H