Selamat hari jadi ke sepuluh Kompasiana, usia yang cukup kenyang akan dinamika. Jika berkaitan dengan pemilu, dua periode sudah dilalui. Suksesi kepemimpinan yang banyak warna. Hampir separo usia K, ikut serta menjadi bagian yang tidak tampak, hanya sebutir debu di tepian pantai yang bernama besar Kompasiana.
Hampir lima tahun, betapa banyak hal yang bisa saya peroleh. Paling tidak capaian pribadi yang luar biasa besar.
Pengenalan diri yang lebih lagi. Jarang dulu itu terlibat dalam dunia tulis menulis, hanya dalam "keterpaksaan" menyiapkan materi pembinaan kaum muda, mau tidak mau, suka atau tidak, menulis menjadi kebiasaan. Dan itu begitu saja tidak lagi menjadi perhatian. Toh selama hidup dalam asrama enggan terlibat dalam penerbitan rumah yang rutin. Eh 2014, ketika iseng-iseng membuka-buka internet, ketemulah Kompasiana. Hal baru.
Ketika tayang perdana masih kacau balau. Seminggu kemudian artikel sangat panas, karena tidak tahu apa-apa, membaca berita terus menulis tema itu begitu saja. Haduh pembaca kala itu 900, dengan lapak komentar yang bertubi-tubi, benar-benar ndredheg, bagaimana menjawab. Ada salah satu komentar yang menyatakan siap-siap lapakmu dibakar, tambah takut. Syukur bahwa rekan-rekan banyak yang membantu termasuk bisa menjadi "pembela," dan terima kasih pada Kompasianer kala itu, yang jelas belum kenal siapa-siapa.
Dari sana, kebiasaan menulis menjadi candu dan terus hingga hari ini, dengan lebih 1900-an artikel. Sekali lagi, soal persentase dan kualitas tulisan, saya tidak hendak membandingkan dengan rekan lain, namun saya cukup puas karena banyaknya atensi dan kebersamaan dengan rekan-rekan.
Lebih mengenal K-ners lain secara berbeda, dulu ada fasilitas percakapan yang bisa diisi menjadi kelompok hingga 50 anggota.  Becanda, saling tukar tema, dan isu dalam grup yang dikenal gocap. Sering malah asyik ngobrol tidak membuat artikel. Dari sana, fasilitas itu pula kadang nakal dengan ngerjain artikel lain sehingga tidak bisa nangkring dalam kolom NT. Itu kisah masa lalu.
Kini grup itu sudah bergeser ke WAG, yang jelas lebih banyak fasilitas, kemudahan, dan sebagainya. Rekan-rekan Kompasianers yang sudah mulai berat menulis masih juga ramai di grup ini. Masih sama peduli tentang K sebenarnya. Hanya soal  motivasi yang menyebabkan enggan menulis lagi dengan berbagai alasan.
Dari percakapan dan grup percakapan tersebut, sering juga mendapatkan "tantangan" menulis tema tertentu, atau pesanan, bukan soal bayaran, pesan tema tertentu yang akan lebih pas digarap siapa. Atau ada info yang bisa dikembangkan menjadi artikel. Dan sayang itu semua, yang membawa warna berbeda itu hilang. Pengaruh salah satu perkembangan teknologi komunikasi yang memang tidak bisa dihindari.
Mengolah emosi dan cara bersikap di dalam menghadapi perbedaan. Tidak mudah menghadapi kelompok-kelompokwaton sulaya, mereka hadir hanya menjelang gelaran pilpres, pilkada, khususnya Jakarta saja. Akun-akun ini biasanya tidak menulis secara luas, selain satu tema, kebencian pada tokoh tertentu, pembaca minimal, kecuali mainkan hits sendiri atau bersama kelompoknya.
Kebiasaan mereka satu juga, tema apapun, komentarnya seperti minuman ringan. Awalnya tidak mudah, bahkan banyak pula senior yang marah dan  bisa emosional. Nah ternyata mereka juga mendewasakan di dalam berinteraksi. Sykur bahwa media ini tidak ada caci maki, hujatan kasar yang berlebihan, sebagaimana media lain.
Trik dan tips yang hanya bisa ditemui karena mengalami dan bisa bersikap lebih baik. Tanpa mengalami hal tersebut tidak akan tahu bagaimana caranya. Ini juga belajar bersama dengan rekan-rekan K-ners lain. Tidak mungkin halus terus, atau tegas namun tetap santun itu penting.
Perjalanan panjang dengan berbagai dinamika, banyak rekan-rekan menulis yang datang dan pergi. Saling berkunjung dan saling becanda, ada kemarahan, kejengkelan karena labeling, contreng, atau nomine. Semua ada masanya, semua ada dinamika masing-masing.
Riuh rendah karena undangan ke istana, pengalaman paling panas yang saya hadapi pertama kali. Toh kembali adem lagi, bersama lagi, dan saling ledek lagi. Memang ada yang pergi dan tidak kembali.
Kekisruhan kedua, soal makan siang oleh salah seorang terpidana korupsi bersama dua K-ners, ini juga jadi riuh rendah. Ada saling tuding, saling curiga, bahkan ada yang mengulik hingga IP masing-masing orang. Ramai sebentar dan kembali lagi bersama.
Pilkada DKI dan pilpres jelas membawa dua kubu yang seolah magnet sama kutub yang saling bertolak belakang. Ini pun dinamika yang sangat mendewasakan dan menujukkan kualitas masing-masing pribadi.
Pengenalan dan perjumpaan dengan K-ners mungkin tidak banyak, namun kebersamaan di dalam K banyak membantu. Tidak jauh kog karakter dalam dunia maya dengan yang nyata. Ada memang perbedaan namun itu bukan karakter dasar, hanya soal praktis dan teknis.
Kepribadian tetap bagus dan jempolan sebagaimana yang ditampilkan dalam masing-masing tulisan. Terima kasih Kompasianers atas kebersamaan selama ini dan semog masih tetap bisa berlanjut apapun pilihan politik, pilihan nominasi, dan pilihan gaya berinteraksi.
Terima kasih dan salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H