Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Koalisi 02, Ebola, dan Hanum Rais

27 Oktober 2018   10:39 Diperbarui: 27 Oktober 2018   11:34 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menarik apa yang tersaji dari keberadaan koalisi 02, makin hari makin banyak blunder dan persoalan, daripada konsolidasi dan pemantaban ide, gagasan, dan program. Bak bola salju yang bergulir makin besar dan makin liar mengenai kisah Ratna Sarumpaet yang ternyata tidak cukup berhenti dan diam.

Ebola itu penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyebabkan pendarahan. Darah bisa lewat bahkan lobang bekas suntikan atau injeksi yang kecil itu. Bisa dibayangkan bagaimana yang keluar melalui lobang-lobang tubuh lainnya. mulut, hidung, dan telinga bukan?

Virus ini bisa membawa kegagalan organ dalam yang akan membawa kematian jika tidak ditangani dengan baik. Waktu inkubasi yang relatif singkat apalagi pendarahan bisa membuat lebih cepatnya kematian.  Ini yang perlu diwaspadai.

Apa kaitan ebola dengan  koalisi 02? Jelas berkaitan dengan baik dan erat, karena begitu cepatnya virus itu membuat kegagalan organ dalam, sama juga kebersamaan 02 yang diwarnai oleh virus perselisihan di dalam. peristiwa oplas yang dipercaya sebagai kekerasan pada perempuan, sepuh lagi yang arahnya jelas deligitimasi pemerintah telah gagal. Kegagalan itu membawa penyakit separah ebola.

Demokrat yang sejak awal telah kalah langkah dengan Sandi membuat banyak ulah dan masalah. Tuduhan soal  kardus dan jenderal kardus.  Berujung tidak jelas itu masalah besar bagi kebersamaan mereka. Para pemilih yang masih menunggu langsung memutuskan bukan seorang pemimpin yang layak dipercaya, karena uang sebagai penentu.

Ternyata tidak berhenti pada kardus dan jenderal kardus, malah makin beranjak untuk "membiarkan" kader dan elit daerah tidak bisa dilarang untuk mendukung Jokowi, dengan dalih itu adalah kantong pemilih Jokowi. Cukup menarik, jika kantong Jokowi tetap tidak bisa diambil alih, artinya akan sama dengan 2014 yang lalu. Jelas kekalahan di depan mata, makin enggan pemilih yang masih menunggu untuk mau memilih pasangan ini.

Keberadaan Demokrat yang terang-terangan demikian, makin membuat PAN juga ikut memainkan ulah yang sama. Ada tiga penguat perilaku ugal-ugalan PAN ini. pertama, jelas melihat Demokrat berlaku demikian dan toh tidak ada perlakuan keras dari elit dan lingkaran dalam Prabowo. Mengikuti toh juga tidak akan ada apa-apa, dan benar

Dua, mereka juga berpikir sama, lebih cenderung menguatkan pileg daripada sekadar mengusung capres toh mereka tidak mendapatkan pengaruh yang cukup signifikan. Ada indikasi jengkel juga apalagi hasil survey banyak lembaga menyatakan posisi parpol ini kritis. Pilihan cerdik ketika fokus mereka adalah pileg dan parpol lebih dulu.

Ketiga, dugaan kardus yang masih belum juga ada konfirmasi itu cenderung hanya ucapan saja, kardusnya tidak jadi diberikan karena posisinya makin berat. Hal yang sangat bisa dimengerti, toh parpol sudah tidak bisa lagi menarik tanda tangan, pun mereka sudah tidak bisa juga membuat koalisi baru.

Sedikit berbeda dengan perilaku PKS yang masih berharap akan DKI-2, nanti, jika DKI-2 ini sudah definitif ada pada elit Gerindra, jelas mereka akan mengikuti langkah kedua sahabat mereka untuk menjauh dari dukungan bagi capres, mereka juga akan fokus pada kader mereka dan partai mereka terlebih dahulu.

Itu adalah ulah partai politik yang menjadi sebuah virus yang membuat pendarahan di dalam tubuh koalisi 02. Pihak  lain yang menjadi juga virus adalah perilaku ugal-ugalan para kader lingkaran terdalam mereka di dalam membuat klaim, pernyataan, dan perilaku mereka yang sering diisi dengan kebohongan, pemutarbalikan fakta, dan keriuhan yang tidak esensial.

Salah satu yang menjadi pionir dalam kasus RS adalah Hanum Rais. Seorang dokter gigi, yang memberikan pernyataannya dengan menggunakan penguat bahwa ia adalah juga dokter. Ada beberapa hal yang bisa dicermati bersama.

Pertama ia adalah seorang dokter gigi, yang dikomentari adalah mengenai luka, yang diakui sebagai luka akibat penganiayaan. Yang pada akhirnya ternyata adalah bekas operasi plastik. Betul sbagai dokter namun ternyata pada akhirnya mengakui ia terkelabuhi. Apa yang ia nyatakan ternyata terbantahkan sendiri dengan pernyataan berikutnya

Kedua, pengakuan awalnya ia tahu sebagai dokter luka itu akibat pukulan. Dari mana ia membuat pernyataan itu, ada kemungkinan ia tidak melihat dengan baik atau sama sekali tidak melihat, ini paling ekstrem membuat pernyataan yang mengaku sebagai dokter tanpa memeriksa keadaan. Artinya ia membuat pernyataan abal-abal lebih parah mengaku sebagai dokter untuk membenarkan perilaku buruk pihak lain.

Ketiga, ia memeriksa luka dan tahu bahwa itu adalah luka operasi, karena demi politis, sulit percaya karena pertemanan, ia nyatakan sebagai penganiayaan. Jika ini yang terjadi, sungguh terlalu, mengapa? Karena ia penganut fasisme yang sangat  bertentangan dengan agama pada esensinya. Bagaimana bisa hasil membenarkan cara bukan?

Keempat, berpikir positif bahwa dokter ini memang terkelabui, meskipun terbantahkan oleh pernyataan-pernyataan yang mengikutinya, oleh dirinya sendiri lho, bukan pihak lain, bahwa ia menjadi korban atas kebohongan pihak Ratna Sarumpaet.

Jika demikian, apa yang diajarkan oleh perilakunya?

Satu, jika menjadi korban penipuan atau kebohongan pihak RS, apa yang ia lakukan? Menuntut RS, atau malah menuntut pihak lain yang menjadi sasarannya? Jika berpikir jernih tentu ia akan menuntut RS sebagai pelaku penipuan. Lha nyatanya ini malah menuduh pihak lain sebagai pelaku kebohongan lain.  Coba di  mana logika berpikirnya?

Dua, tidak ada itikat baik untuk meminta maaf, sudah menuduh pihak lain sebagai pelaku, mengatasnamakan dokter untuk perilaku yang tidak berkaitan dengan profesinya, dan malah ngeles sebagai korban kebohongan. Ia masuk dalam lingkaran pelaku kebohongan malah.

Tiga, enak dan enteng sekali mengaku sebagai korban, padahal banyak juga yang ia tuduh secara mentah, dan sampai sekarang tidak ada pernyataan permintaan maaf pada pihak yang telah tertuding dan yang ikut termakan ucapannya. 

Sikap tanggung jawab ini penting dalam segala profesi apalagi dokter. Coba ia telah mencabut gigi orang karena mengeluh ada sakit. dan ternyata masih ada keluhan yang sama usai ia tangani, dan dengan enteng ia menyatakan, oh giginya salah cabut. Coba apa bisa gigi ditanam lagi dan orang itu pulih seperti semula? Tidak bukan? Sikap bertanggung jawab.

Empat, ceroboh. Jika belum melihat luka, sudah menyatakan jelas fatal, jika melihat tidak tahu bedanya lebih fatal, bagaimana keilmuannya dipertanggungjawabkan, meskipun di luar keahliannya, tetp lah paham. Apalagi sangat parah jika tahu itu luka karena operasi dan diklaim sebagai akibat penganiayaan, lebih parah lagi.

Kelima, ikut dalam barisan politikus yang menggunakan segala cara demi kemenangan, baik pribadi atau yang didukung. Ini jelas miris, sebagai generasi muda namun perilakunya demikian, akan berbeda jika termasuk kelompok tua, yang miskin kreatifitas. Lha muda, berpendidikan, wawasan juga luas, namun menjadi "agen" seperti ini.

Dari hal-hal di atas, jelas ke mana harus memilih bagi yang belum punya pilihan. Kelompok yang isinya adalah pembohong, dalamnya banyak perpecahan, hanya dikemas kesamaan dalam mengganti presiden. Menggunakan segala cara di dalam meraih tujuan, visi dan misi serta program sama sekali tidak ada.

Bagaimana mereka mendapatkan mandat dan kepercayaan jika model dan kualitasnya seperti itu? Susah melihat harapan yang mulai berkembang  itu di tangan mereka. Apalakah ingin mundur lagi dan kembali ke zaman di mana penuh kamuflase dan hal-hal semu dan pembangunan hanya untuk bancaan lagi?

Luka dan pendarahan dalam yang akan membuat mereka tumbang. Susah untuk dipercaya bisa memimpin dengan baik.

Terima kasih dan salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun