Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gagalnya "Gorengan" karena Keberanian Mengambil Risiko Penegakan Hukum

25 Oktober 2018   05:00 Diperbarui: 25 Oktober 2018   05:25 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa kali gorengan demi gorengan politis menemui jalan terjal, bahkan gatot, gagal total. Sangat mungkin kegagalan itu ada dua faktor, dari pihak yang suka gorenga yang hilang rasa sehingga apapun digoreng dan kadang tidak cukup bahan bakar untuk itu. Faktor kedua jelas karena penegakan hukum yang cukup berat dengan segala risiko dihadapi oleh penegak hukum dan pemerintahan.

Faktor pertama, dari sisi si penyuka gorengan. Bahan bakar yang tidak cukup namun dipaksakan, sehingga malah menjadi bahan candaan. Hal ini karena kebingungan mau apa lagi, sehingga bahan sangat mentah pun dijadikan gorengan yang akhirnya malah gagal dan menjadi blunder cukup parah.

Kondisi yang berbeda dianggap sama saja, kembali ini soal ranah rasa, emosinal yang abai rasional, dan juga panik karena bak orang minum air laut, atau penjudi yang kalap ketika kalap, makin besar, makin besar, dan makin besar untukmengejar kekurangan atau kerugian atas kekalahannya. Akhirnya amburadul.

Faktor kedua jelas penegakan hukum yang sangat berisiko diambil oleh pemerintah dan jajarannya. Kondisi yang tidak menguntungkan karena bisa dipolitisasi, dan benar adanya. Tuduhan kriminalisasi, pemerintah sipil serasa militer, pemerintah otoriter, membungkam kebebasan berpendapat.

Faktor kedua ini layak lebih luas dikupas karena jauh lebih bermanfaat dan penting sebagai bagian hidup bersama. Bernegara yang normal, waras, dan seharusnya ya memang harusnya demikian.

Tuduhan kriminalisasi atas penangkapan penebar kebohongan. Jelas tidak berdasar. Mengapa demikian? Karena memang orang-orang, atau lembaga tersebut benar-benar melakukan pelanggaran hukum. Kriminalisasi itu jika orang tidak melanggar hukum kemudian dituduh melakukan tindakan pidana, dengan tuduhan palsu, saksi-saksi dan alat bukti yang dibuat-buat.

Ketika di pengadilan saksi satu dengan yang lain berbeda. Fakta yang satu melemahkan fakta yang lain. Sepanjang bisa dibuktikan dengan adanya saksi dan bukti yang sejalan dan benar demikian, berarti tudingan kriminalisasi sudah gugur dengan sendirinya. Siapa yang menuding dengan cepat, keras itu? Biasanya berkaitan dan ada relasi sesama penyuka gorengan.

Penanganan serius dengan membongkar, saracen, penangkapan Jonru, pengusutan atas nama Dhani yang begotu banyak, kasus demi kasus Rizieq Shihab itu penting. Media di mana mereka biasa seragam di dalam menggaungkan satu tema, telah bisa teredam. Risiko tuduhan membungkap kebebasan berpendapat itu tetap berdampak bagi pemerintah.

Apakah benar membungkap kebebasan berpendapat? Bisa disimak dan dilihat rekam jejaknya. Pendapat apa yang disampaikan, apakah kebenaran, ataukah kebencian yang sangat tidak mendasar?  Membungkam kebebasan berpendapat itu jika apa yang disampaikan itu kebenaran yang diyakini lebih banyak khalayak benar tudingan membungkan kebebasan. Menjadi aneh dan luar biasa lucu ketika menebarkan kebencian, separo fakta diklaim sebagai membungkam kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat itu mengritik yang memiliki dasar, bukan karena waton sulaya dan memiliki fakta sebagai data penguat pernyataan itu. Jika kritik tidak menawarkan solusi paling tidak memberikan alasan yang masuk akal, jangan kemudian meminta yang dikritik untuk mencari jalan keluar sendiri.

Gugur juga pembungkaman kebebasan berpendapat jika apa yang disampaikan itu telah memotong, membuang, dan menyembunyikan sebagian fakta, sehingga mebentuk opini yang bias, bahkan berbeda jauh.

Contoh berpendapat bahwa pemerintah  gagal mengendalikan dollar, padahal kondisi global yang tidak bisa dikendalikan pemerintah tidak mau tahu. Pembangunan infrastruktur jelas-jelas dinikmati, pun bisa dinyatakan rakyat tidak kenyang dengan jalan dan betol. Mereka tahu kebenarannya, namun memenggal dan menyembunyikannya.

Penegakan hukum yang susah karena pembiaran sekian lama. Pemimpin yang hanya mencoba menyenangkan banyak pihak, memilih untuk membiarkan pelanggaran hukum. Mereka yang biasa ugal-ugalan ini dikendalikan jelas meradang. Pemerintah yang kena imbasnya, apalagi dimanfaatkan bandit demokrasi yang  merasa seolah paling suci ini.  Simalakama, dan syukur bahwa pemerintah berjalan pada jalur yang benar dan tetap dengan sikap demikian.

Politikus dan bandit demokrasi yang hanya mengandalkan politik waton sulaya, jelas merangkul kelompok ugal-ugalan demi mendulang suara. Kelompok ini biasanya kecil, namun memiliki corong kuat dan bersifat intimidatif, jadi mengeroyok, nggrudug, dan akhirnya amuk sebagai andalan. Nah berhadapan dengan penegak hukum yang ternyata tidak bisa ditekan ini  mereka panik, akhirnya malah blunder karena kekurangan bahan dasar yang cukup.

Ketika jalur menggaungkan kecemasan, ketakutan, pembentukan opini terputus, mereka jelas kehilangan banyak kendali. Mereka menjadi panik dan membuat ulah yang justru malah menjadi bahan ledekan dan candaan semata.

Penegakan hukum dengan segala konsekuensinya itu berani ditanggung pemerintah yang tidak hanya berpikir soal populer, sedikit banyak menjadi penghiburan bagi rakyat yang bisa merasakan adanya kepastian hukum.  Orang dan lembaga tidak lagi bisa seenaknya sendiri berbicara dan berdalih khilaf, maaf, atau atas nama kebebasan berdemokrasi lagi hanya karena kepepet.

Memang masih jauh dari yang ideal, namun cukup bagus dibandingkan era-era lampau yang bisa melenggang dengan leluasa karena banyaknya uang dan relasi yang bisa   membuat hukum berbeda. Harapan sudah ada, apa iya mau dipadamkan lagi. 

Siapa yang biasa main-main dengan hukum? Klaim kalau atas nama demokrasi namun menebarkan kepalsuan dengan bangga? Apa iya model demikian bisa dipercaya? Sangat jelas jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun