Memang ada yang tetap ndompleng keberanian RS untuk mengaku sebagai kualitas spritualitas, namun di balik itu hanya mau membenarkan diri dan mengaitkan dengan agama dan spiritualitas yang sejatinya menutupi ketinggian hatinya sendiri.
Bijaksana itu bukan karena pendidikan, gelar, jabatan, atau pengalaman, namun kualitas diri. Apa kurangnya gelar berderet, pangkat dan jabatan, namun jauh lebih munafik dan tidak tahu malu, kalah dengan orang yang maaf hanya asisten, namun menyarankan kualitas hidup manusiawi, berani mengakui kesalahan dan kebohongan yang pernah dilakukan.
Cerdas itu beda dengan pintar atau pandai. Pintar atau pandai hanya terbatas pada otak, kognisi, namun hati kosong. Cerdas menyangkut juga hati. Lagi dan lagi itu justru ada pada asisten, padahal anggota dewan bahkan pimpinan saja tidak ada yang memiliki pemikiran demikian. pilihan cerdas dan tidak semata pintar ini, namun kualitas pribadi yang tidak berkaitan dengan gelar dan jabatan.
Mengakui kesalahan dan kebohongan itu tindakan besar, keberanian luar biasa, mendukung untuk mengakui itu juga luar biasa. Dan ide itu justru lahir dari seorang biasa, bukan pimpinan dewan, bukan anggota dewan, bukan pula deklarator partai politik.
Kebesaran jiwa dan kualitas pribadi itu tidak perlu keliling pasar, berkobar-kobar di dalam berpidato, atau merasa paling benar di seluruh negeri. Berani menyatakan kebenaran sebagai kebenaran, mengakui kesalahan sebagai kesalahan, dan mendorong kebenaran sebagai panglima di dalam perilakunya, akan dicatat oleh sejarah, dalam konteks masing-masing tentunya.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H