Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Politik Keutamaan ala Gandhi dan Politik Ketakutan ala Trumowo

21 Oktober 2018   19:25 Diperbarui: 21 Oktober 2018   19:58 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketika jenuh membaca dan mengetik, melihat dua cemeng yang masih sebulanan lebih sedikit umurnya, sedang lucu-lucunya dan senang main-main. Ada bulu ayam yang tanggal dan diberi lidi, digoyang sedikit saja hebohnya luar biasa. Pas main-main itu, fokus si cemeng hanya pada bulu, bagaimanapun dimainkan, tetap bulunya yang menjadi fokus mereka, tidak kog menampar kucing lain, atau mereka berebut atau saling dorong. Lha jadi ingat politik.

Wong kursi yang menjadi rebutan kog, yang diributkan pribadinya, menjelek-jelekan, dan bukan konsentrasi pada kursi yang mau diraih, kalah dengan cemeng ternyata. Tidak ada cemeng yang berusaha menerkam cemeng lain, beda jika terkaman itu meleset lho. Artinya tidak sengaja.

Politik itu jelas mengejar kekuasaan. Apa yang menjadi fokus pasti adalah kursi. Namun tentu tidak bisa melupakan yang namanya etika, dalam bahasa Mahatma Gandhi keutamaan politik. Ada dua hal keutamaan yang bisa dipetik maknanya dari reputasi Gandhi.

Amihsa, di mana politik Gandhi adalah antikekerasan. Ia memperbesar laku prihatin sesuai dengan keyakinan dan imannya. Spiritual yang memampukan ia menjadi pribadi yang tenang dan tidak mengikuti hawa nafsu untuk membalas dendam atas penindasan penjajah.

Swadesi, yang dibahasaulangkan oleh Sukarno sebagai berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Kemandirian, artinya membangun kemampuan dari dalam, apa yang dikembangkan adalah mereka sebagai bangsa. Fokus ke dalam yang akan menjadi kekuatan dasyat.

Pergerakan itu melahirkan banyak tokoh inspiratif, entah mengapa malah kecenderungan memilih tokoh yang tidak baik reputasinya seperti pemahaman fasis yang banyak dijadikan pola para elit saat ini. dalam mulut mereka mencerca fahamnya, namun dalam perilakunya mengambil dengan begitu saja. Munafik menjadi gaya berpolitik, dalam waktu bersamaan merasa paling saleh, religius, dan agamis.

Berlawanan dengan Gandhi, dalam konteks kekinian ternyata ada dua politikus yang sama-sama ugal-ugalan dalam menggapai kursi kekuasaan. Dua nama yang bisa digabung dalam Trumowo, Trump dan Prabowo, yang satu presiden dan satunya calon yang sangat ngebet dengan pola yang mirip.

Retorika ancaman dan ketakutan

Ketika Trump merasa susah untuk menang atas Hilary Clinton, ia menyatakan adanya ancaman dari perbatasan yang sangat membahayakan Amerika. Apa yang dikampanyekan adalah imigran akan memperkosa dan keadaan perang di mana-mana. Kecemasan yang dikedepankan, membuat warga was-was dan mengarahkan untuk memilih sang 'jagoan'.

Tidak jauh berbeda dan  identik, ketika isu laten PKI dan TKA menjadi narasi yang terus-terus diulang dan diulang. Bukti dan fakta jelas berbeda dengan apa yang dinyatakan, toh masih saja diulang. Ini adalah kesengajaan untuk membuat rakyat atau masyarakat bingung. Ketika kebingungan, hanya mendasarkan pada emosional dan lupa yang rasional dan esensial. Contoh, Prabowo sendiri keturuna China. Ini fakta, kalau TKI yang membanjir itu hanya ilusi. Pun PKI itu sudah lama usai, di dunia sudah tidak lagi eksis, toh masih saja digorang-goreng.  

Menyerang rival politiknya dengan apa yang sebenarnya ia lakukan sendiri

Menarik akhir-akhir ini mengatakan soal HAM yang tidak bisa diselesaikan oleh Jokowi. Coba bayangkan jika itu yang melakukan kubu mereka? Pasti akan dikatakan sebagai pembunuhan karakter. Siapa pelaku pelanggaran HAM coba. Mengatakan tidak peduli pada orang miskin, padahal siapa yang kaya raya dan tidak pernah miskin. Kekayaan bukan karena kerja keras dan usaha sendiri, namun warisan.

Trump menuduh Hilary berselingkuh, tanpa memberikan bukti apapun. Padahal jelas-jelas pelaku pelecehan perempuan ada pada dirinya.  Menuding pihak lain sebagai pelaku apa yang sejatinya ia jalani sendiri.

Hal ini sebenarnya sangat biasa terjadi empat tahun terakhir. Bagaimana Jokowi dinyatakan sebagai pembohong, padahal jelas-jelas terbukti siapa yang menyebarkan berita Ratna Sarumpaet adalah penyiksaan?

Tekanan pada Kelompok Besar dan Ancaman bagi yang Kecil

Kepada komunitas Kristen Evangelis, Trump mengatakan, akan ada orang kasar yang akan mengambil  keuntungan jika kalian tidak memilih (ku Trump, penulis). Jelas bahwa kelompok Kristen merupakan pemilih potensial, mereka ditakut-takuti bahwa akan ada "hantu" yang akan mengambil apa yang mereka punyai, jika Trump kalah.

Dalam konteks di sini, mendengung-dengungkan bahwa ada gerakan antiislam, antiulama, dan sejenisnya sebagai bentuk mendapatkan dukungan yang cukup signifikan dari kelompok terbesar bangsa ini.

Faktanya jelas tidak ada. Siapa yang antiagama tertentu, siapa yang antiulama, karena kandidat lain pun beragama Islam. Siapa yang memainkan agama dan kondisi hidup bersama, kelompok 02. Memainkan kalau Jokowi antiislam, akan menyudutkan Islam, eh malah diganjar termasuk nomor 16 dari 500 tokoh Muslim berpengaruh di dunia. Jangan nanti menuding itu pencitraan dan membeli, hayo siapa yang jagoan membeli penghargaan? Ada di kubu mana ya? Mana Fahri, mana Fadli yang katanya agamis itu?

Siapa juga yang mengukuhkan Hari Santri Nasional coba? Apa itu antiislam juga? Apa ada orang anti namun mau memberikan penghargaan dalam perayaan nasional? Lagi-lagi ngawur dan grusa-grusu.

Menebar Kebohongan

Salah satu yang diungkapkan soal tuduhan selingkuh Hilary, jelas tanpa bukti dan usai begitu saja. Apalagi jika menyangkut mengenai Islam dan imigran. Hal yang sangat ia kuasai dan pakai untuk membuat orang takut dan kemudian memilihnya. Pemilih disuguhi ilustrasi bohongan yang memang ia sengaja dan dilakukan dengan gaya yang tidak peduli.

Apa yang kita saksikan akhir-akhir ini tidak jauh berbeda. Bagaimana bom molotov, mobil kebakaran, dan puncaknya jelas pada kasus RS. Blunder yang tidak sesuai skenario dan ya pantas membuat merekaa tiarap.

Namun bagaimana soal gorengan isu Freeport, isu menjadi tuan rumah pertemuan IMF-WB, dan banyak hal yang akan hilang menguap begitu saja ketika mendapatkan bantahan dengan data dan fakta. Tentu masih banyak yang ingat soal Menteri Susi yang marah besar kepada Sandi, dan  dengan enteng Sandi mencabut lagi pernyataannya itu. Itu bukan sepele, itu sengaja. ? Kali ini Prabowo turun gunung juga dengan pernyataannya soal hotel di Bali milik asing, lha memang hanya selama Jokowi pendirian hotel itu? Atau  memang bisa hidup tanpa asing, sendirian di tengah dunia modern ini? Kebohongan yang disengaja, apa itu pemimpin yang baik

Ancaman akan Ada Kerusuhan jika Kalah.

Trump berkali-kali mengatakan itu. Negara dalam bahaya jika banyak imigran dan membiarkan "teroris" merajalela, dalam konteks merujuk agama tertentu. Sentimen agama dan menebarkan ancaman adanya keadaan buruk yang akan terjadi.

Secara eksplisit memang tidak ada hal demikian dalam konteks pilpres kali ini, atau belum namun ada dua indikasi secara tidak  langsung sudah dinyatakan.

Pilkada DKI, jika Ahok menang akan ada kerusuhan, dan itu ada memang pergerakan masif, pelaku pengumpulan massa sekaligus penebar ancaman. Sama mereka namun membuat kamuflase berbeda. Pelaku seolah pihak lain.

Prabowo pernah mengatakan Indonesia akan bubar pada 2030 jika kepemimpinan lemah. Artinya pemimpin saat ini lemah dan perlu pemimpin yang kuat seperti dirinya.

Tuduhan Pemilu itu Penuh Kecurangan

Trawowo mengatakan yang identik.  Mereka paham kalah secara fair, maka menyerang adalah pertahanan terbaik. Menuding pihak lain curang untuk membuat pendukungnya menjadi militan. Melupakan sisi rasional dan bertindak irasional, mendengung-dengungkan soal kecurangan. Pengerahan massa dari KTP warga asing, China lagi tertuduhnya, padahal Prabowo keturunan China, jumlah pemilih yang ganda ada 25 juta, dan akan seperti 2014 di mana akan menuntut ke mana-mana, entah apa juga menuntut Tuhan, dengan dalih Jokowi curang lagi nanti?

Faktanya juga tidak demikian, toh semua peradilan menyatakan yang sama mosok semua peradilan dengan perangkatnya semua disogok oleh pemenang atau penguasa? Apa iya bisa demikian, tidak ada yang bocor dan mengaku? Jika rekayasa tetap akan terbuka.

Kepemimpinan itu akan menunjukkan sisi asli dari pribadi tersebut, pilihan mereka itu penuh keutamaan atau ketamakan. Penuh kebaikan atau kejahatan. Memberikan jaminan dan harapan ketenteraman atau kecemasan.

Memilih itu jangan hanya emosional karena kesamaan label tertentu, namun perlu juga membaca rekam jejak. Bagaimana perilaku selama ini, atau hanya tiba-tiba menjadi baik dan merakyat, lagi-lagi tiba-tiba.

Siapa yang ada di lingkarannya. Menebarkan harapan atau kecemasan. Pekerja keras atau hanya bicara keras namun tidak pernah ada hasil.

Terima kasih dan salam

 

Referensi

satu

dua

tiga

empat

lima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun