Perkenalan dengan Tabloid Bola sudah sangat lama. Dulu masih sisipan harian Kompas, hal kemewahan tersendiri bisa menikmati Kompas dan produknya, terlalu mahal, banyak pertimbangan dna prioritas lain tentunya. Baca hanya kadang-kadang saja.
Rutin membaca dan tahu dengan baik soal Bola ketika masuk asrama, di mana produk Kompas adalah menu wajib, salah satunya jadi rebutan kalau terbit.Â
Sekitar 50-an kepala yang ada dengan peminat bola hampir separo, antri dan kadang ada yang nakal dibawa ke kamar pribadi, orangnya sih ya itu-itu saja sih sudah hapal. Kalau tidak itu ya itu yang membawa.
Poster-poster bagusnya jelas sudah "hilang atau lenyap duluan", entah siapa yang mengoleksi. Kualitas kertas yang bagus, juga gambar pemain idola yang menggiurkan. Tentu sangat menarik minat untuk mengoleksi.
Intens menikmati Bola ketika sudah tidak di asrama. Ponakan langganan sendiri, tetapi yang membelikannya saya, jadi saya yang menikmati terlebih dahulu.Â
Kertas tabloid yang sudah usai dibaca dan dikumpulkan oleh ponakan secara rutin menjadi sumbanga kegiatan dia di gereja kalau ada acara yang membutuhkan dana.Â
Tabloidnya dijual, nah ada ide untuk mengambil "SI Gundul" sebagai koleksi pribadi dalam rupa klipping.
Sebenarnya sudah lama sekali "lupa" soal Bola ini, ketika kemarin melihat Bola pamit, jadi lagi ingat memiliki kliping Si Gundul.Â
Kalau tidak salah, ada sekitar dua hingga empat bundel kliping SI Gundul tahun terbit kisaran 2005 akhir hingga 2007-an pertengahan. Baru ketemu satu bundel edisi 2006-an.
Ketika mencari dan masih ada ternyata dalam tumpukan arsip kliping dengan aneka tema lain, dan masih lumayan bagus juga ketika diphoto.Â
Salah satu kenangan yang masih patut untuk disimpan, bukan lagi dalam tumpukan yang "seolah tidak berguna" ini berarti, naik level berjajar dengan buku-buku lain, karena sudah akan menjadi bagian sejarah.
Memang tidak bisa dimungkiri era cetak memasuki masa senja, apalagi diperparah budaya baca yang sangat rendah, satu demi satu pamit, dan kini Bola yang melegenda dengan ulasan-ulasan sepak bola dna olah raga lainnya itu pun pamit untuk tidaklagi menerbitkan edisi cetak.
Internet dan kemajuan teknologi informasi sangat masif, kemudahan akses internet dan smartphone pun demikian, media cetak ditinggalkan penikmat setianya.Â
Peralihan yang sangat menyesakan banyak pihak, namun tentu saja itu  bagian utuh atas dinamikan kemajuan zaman.
Wartel terlebih dahulu menemui ajalnya, tidak terlalu lama karena murah dan mudahnya HP, pager pun tidak sempat lama menghirup udara dunia dan kembali terbenam. Semua mengalami masa masing-masing, ada yang lama, ada yang cepat hilang dan berganti.
Warnet pun sempat sedikit berjaya, kemudian berganti dengan smartphone murah yang hingga anak-anak sekolah pun bisa memilikinya. Tutup dan mau tidak mau beralih peran, dan smartphone dengan internetnya kini sedang berjaya.
Bola ternyata juga menjadi imbas, ikut menjadi korban kemajuan teknologi. Padahal banyak hal yang tidak bisa tergantikan oleh media online, khas cetak yang sangat nostalgis.Â
Contoh jelas Si Gundul itu. Benar bisa juga digambar secara maya, namun beda dengan gambar di atas kertas kecoklatan itu. Tampilan tidak semenarik digital, namun ada yang berbeda, dan itu tinggal kenangan.
Kemajuan teknologi itu tidak bisa disangkal, tidak ada yang mampu menampiknya, bagaimana manusia mampu bersinergi dan menyesuaikan dengan itu.Â
Tidak pula kemudian menjadi budak teknologi, karena pada esensinya, teknologi itu buatan manusia, digunakan untuk membantu manusia, bukan malah merendahkan manusia yang dikalahkan dan disingkirkan oleh teknologi.
Ada korban dan yang menjadi tersisih bukan berarti bahwa teknologi itu jahat, namun itu adalah konsekuensi logis atas perkembangan dan perubahan zaman yan memang harus demikian.Â
Jangan sampai dilindas zaman agar  tetap eksis dengan kemanusiaan. Manusia adalah segalanya. Ketika manusia kalah oleh teknologi, jangan harap kemanusiaan dihargai.
Manusia yang mendewakan teknologi dan mengesampingkan manusia, jelas kehilangan jati dirinya. Manusia itu tuan atas teknologi, menguasai teknologi bukan untuk dikuasai teknologi. Jika mampu demikian, kemanusiaan tetap berkembang dan menjadi lebih humanis.
Nyaman dengan dirinya dengan teknologi, bukan curiga, atau mendewakan teknologi. Dirinya yang utama, apalagi sampai gugup dan gagap, bisa berbahaya jika demikian.
Banyaknya orang yang ditangkap karena teknologi, hanya perilaku orang yang terlalu mengagungkan teknologi dan abai akan kemanusiaan.Â
Merasa ada jarak melupakan yang nyata demi yang maya. Padahal jika bisa bersinergi, tidak akan ada yang menjadi korban atas itu semua.
Konsekuensi logis yang masih gagap diresapi dalam kehidupan bersama, sehingga banyak yang gagal untuk menjadi bagian utuh atas kemajuan itu. Kegagapan yang membawa pada kegagalan dan itu bisa runyam jika tidak mau belajar.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H