Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Usai Ratna Sarumpaet Gagal, Artis Ini Dipersiapkan Memainkan Politik Korban?

19 Oktober 2018   15:00 Diperbarui: 19 Oktober 2018   15:02 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa sih yang bisa ditawarkan dengan model politik kecemasan, ketakutan, dan keriuhan tanpa esensi terus menerus seperti ini? Skenario gagal penganiayaan RS memang menjadi bumerang yang luar biasa, ketika idenya untuk mendegradasi suara pemerintah dan incumben, yang masih cukup tinggi.

Gagasannya jika memang sukses kisah penganiayaan itu, bola salju akan bergulir dengan model pendekatan pilkada DKI Jakarta. Demo berjilid-jilid, menebar ketakutan bahwa pemerintah gagal menjaga warganya, dan pilihan realistis adalah ganti. Indikasi ini fakta, ketika kebohongan pun sudah terbongkar, masih ada demo mini yang ujung-ujungnya ganti juga Jokowi.

Kasus ini sudah usang dan usai, bahkan dinamakan sampah politik oleh elit mereka sendiri. Apakah berhenti demikian saja? Jelas tidak, karena mereka memang sudah tidak lagi punya waktu dan memang dasarnya tidak punya kemampuan untuk berbuat lebih baik dari apa yang disajikan saat ini.

Intinya adalah permainan korban, memanfaatkan orang atau kelompok mereka sebagai korban, dan pemerintah dengan aparat adalah pelaku. Politik menjual derita yang kemudian akan dilakukan, pembelaan masif untuk mengubah persepsi publik, diikuti  demo berjilid-jilid atas nama perilaku tidak adil, dan pemerintah harus bertanggung jawab.

Jika pola demikian yang diandalkan, korban atau peristiwa itu banyak dan sangat biasa, perlu momentum saja yang siapa tahu bisa seperti kasus Ahok yang sukses gilang gemilang yang lampau. Mau mengulang keuntungan yang pernah diraih, jelas bukan politikus cerdas, hanya tukang nemu yang tidak berkelas.

Perlu pengelolaan isu dan fakta yang masif, ada kelompok yang menggelontorkan persepsi setengah data. Syukur bahwa barisan ini sudah digulung oleh kepolisian. Siapa yang berteriak paling lantang menuduh polisi? Jelas di mana mereka. Kelompok corong sudah  "punah" dan ketika kisah RS langsung elit mereka yang main, jelas kedodoran dan mati kutu.

Butuh kelompok demo yang selalu siap dengan tema apapun, dan lagi-lagi syukur bahwa "pengelola" dan penyedia jasa ini sudah tersandera oleh ulahnya sendiri yang ugal-ugalan. Tidak ada lagi habitat yang bisa menyuburkan suasana ketakutan dan kecemasan yang bisa diolah.

Toh karena sudah tidak punya rencana kerja politik cerdas, upaya ini saja yang diulang-ulang, dan berharap nemu lagi.  Beberapa skenario tampak jelas mau dilakukan. Soal taggar yang tidak laku namun adanya penolakan itu pun mau diskenariokan gagal total. Kebakaran mobil dan bom molotov rumah, gagal juga, upaya mereka tidak jauh-jauh dari itu.

Dhani yang mengulang soal cuitan di media sosial soal pujian pada BPK dan menohok pemerintah, jelas mau mengarah ke sini. Status dia yang tersangka, sangat mungkin masuk bui dengan perilakunya yang merasa selalu benar ini. Hukum bisa kalah karena gerudugan mereka.

Sangat mungkin ditahan karena ia mengulangi perbuatannya. Nah ini yang ditunggu-tunggu dengan akan menuduh pemerintah antikritik. Padahal kritik dan kritis itu berbeda dengan asal cuap saja. Kritik itu ada unsur membangun dan jika mungkin solusi. Jika asal bicara itu pokoknya pihak lain salah, soal kesalahan buktikan sendiri.

Kriminalisasi,  ini khas lagi-lagi khas mereka kalau terdesak. Jadi kriminalisasi itu tidak berbuat apa-apa tetapi dicari-cari permasalahan kemudian seolah-olah ada pelanggaran hukum. Lha kalau jelas ada dua alat bukti ya jelas saja itu memang kriminal bukan kriminalisasi.

Lemah sikap bertanggung jawab, namun menuding pihak lain sebagai tidak adil. Mana sih yang pernah di antara mereka itu yang menyatakan kebohongan dan meminta maaf, jika pun iya itu hanya lamis, mengatakan namun dengan nggerundel dan tetap merasa benar. Pihak lain sebagai pelaku atau mencari kambing hitam. Khas anak-anak, takut merusakan mainan, akan menyalahkan temannya yang nakal.

Perilaku ugal-ugalan, berlindung di balik kata demokrasi dan hukum, namun sejatinya perongrong hukum, lha diperiksa saja takut dan nggibrit, kalau  terpaksa akan menggunakan jurus, tiji tibeh, menyerang pihak lain, dan berdalih menyuarakan kebenaran.

Polisi dan pemerintah ini seolah tersandera dengan perilaku mereka. Salah melangkahakan demo berjilid-jilid, itu sangat merugikan semuanya. Bagaimana energi  yang seharusnya dipakai untuk membangun habis untuk mengurus politikus model waton sulaya. Energi terbuang percuma, anggaran bisa juga tergerus untuk hal yang sebenarnya salah, namun karena banyak pendukung dan penyokong jadi seolah benar.

Sebenarnya jelas kog warna apa yang mau ditampilkan itu. Hanya mengulur waktu saja bagi mereka untuk habis sehabis-habisnya. Rencana-rencana mereka tidak ada yang baru. Pengulangan dengan beda konteks namun mereka tidak juga mau sadar.

Kondisi rakyat secara umum juga sudah tidak lagi percaya dengan perilaku mereka yang hanya mengulang seperti kaset usang. Mereka lupa konteks dan waktu berbeda perlu juga penangan yang berbeda. Mengapa hanya pengulangan? Ya karena tidak mampu berpikir lain yang lebih cerdas.

Kepolisian dengan jajaran penegak hukum telah bekerja keras dan baik selama ini. Penegakan hukum yang sangat riskan dipolitisasi toh bisa diselesaikan dengan relatif baik. Siapa yang berteriak paling lantang menuduh polisi tidak profesional, jelas di mana mereka berdiri. Tinggal menunggu waktu untuk ikut merasakan buah perbuatan mereka sendiri.

Politik yang penuh keutamaan menjadi jauh lebih penting saat ini. Mahal harganya dan tidak mudah, dan memang akan terus demikian, namanya juga kebaikan, sangat sulit. Satu demi satu kejahatan dan perilaku jahat terbongkar, dan masih juga mau main-main dengan itu. Ironisnya para pelaku itu, dengan fasih mengaku sebagai agamis, menggunakan atribut agama dan merasa dekat dengan tokoh agama.

Keutamaan itu bukan semata atribut atau dekat, namun tercermin dari perilaku yang dihidupi sehari-hari. Wacana dan ide itu perlu tindakan.

Terima kasih dan salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun