Namanya politik itu ya tidak akan jelas sebagaimana ilmu pasti.  Orientasi adalah kekuasaan, nah menjadi pembeda adalah cara, proses, jalannya menggapai kekuasaan itu.Â
Kepercayaan dasar bahwa politik itu cair, politik itu kepentingan, tidak ada kawan abadi dan lawan yang kekal, semua adalah kepentingan dasarnya.
Toh politikus juga manusia yang memiliki nurani dan moral di dalam standart hidupnya. Dalam sejarah di dunia ini tentu banyak politisi yang masing menggunakan nurani, bukan semata demi kursi.Â
Dari dunia internasional, kita kenal Mahatma Gandi, ada namanya k Obama. Lokal kita punya Bung Karno, ada Bung Hatta, yang memberikan harapan untuk berkembang bersama, optimis, dan memberikan secercah terang untuk perihidup lebih baik.
Di balik sederet nama pemberi harapan, toh tidak sedikit nama-nama yang dikenal atas perilaku mereka yang membawa dan menebar ketakutan dan kecemasan. Ada Idi Amin, Hitler, Musolini, dan banyak banget jika mau menderet mereka.Â
Ketakutan dan kecemasan yang mereka gaungkan sehingga rakyat menjadi tidak berani membantah apa yang mereka inginkan dan lakukan. Kekerasan dan pemaksaan kehendak menjadi cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Beberapa hal bisa dilihat sebagai ciri atau watak dari kedua politik yang berhadap-hadapan demikian.
Kemanusiaan dan manusia
Berbeda sangat jelas mereka di dalam melihat warga, masyarakat, manusia termasuk kemanusiaan. Di mana politik penuh harapan akan memberikan kebebasan seluas mungkin. Kemanusiaan itu adalah segalanya, manusia dibangun bukan sebagai benda atau alat kekuasaan, manusia dengan kemanusiaan menjadi pertimbangan utama
Sisi lain, politik kecemasan, manusia adalah obyek dan sarana untuk mempertahankan kekuasaan. Ingat hanya kala pemilu. Tidak ikut kata pemimpin adalah pelanggaran keras yang hukumannya bisa hanya karena ketersinggungan pemimpin.
Politik dan negarawan penuh harapan menempatkan hukum sebagai panglima di dalam menegakan tertib hukum bersama. Walaupun demikian, hukum untuk manusia bukan sebaliknya, manusia menjadi budak hukum.Â
Jaminan atas kebebasan dengan adanya hukum yang baik. Membangun manusia taat azas sehingga sadar bukan takut akan hukum.
Penegakan hukum tidak akan pandang bulu dan bisa diharapkan benar-benar terjadi karena pemerintahan telah berjalan dengan semestinya. Suap dan kolusi telah menjadi hal yang tabu dan memalukan.
Berbeda dengan politik pembangun kecemasan. Hukum adalah senjata untuk mempertahankan kekuasaan. Pasal-pasal dibuat menguntungkan kekuasaan, sedang rakyat dan rival politik bisa menjadi korban atas peraturan yang dibuat.Â
Jangan harap akan bisa menjerat politikus penyuka kecemasan ini untuk bisa taat hukum. Klaim dan menuduh pihak lain sebagai tabiat model demikian.
Meneror atas nama hukum, menjerat dengan semena-mena bagi pelanggar hukum yang berseberangan dengan kekuasaan. Kecenderungan like-dislike, menjadi besar. Kolusi dan suap meraja lela. Â
Penegak hukum sering menjadi target hukum dan mengalungkan tali gantungan sendiri, karena tamak dan rakusnya.
Kekuasaan
Politik kecemasan akan melihat kekuasaan adalah segalanya. Kekuasaan bukan semata berpikir mengenai kepemimpinan dan sarana untuk bertumbuh kembang bersama sebagai satu bangsa. Fokus dan orientasi adalah kursi.Â
Jika kalah hanya fokusnya melihat peluang menggagalkan yang sedang menjalankan kepercayaan. Jika menang akan merajalela dan ugal-ugalan.
Menciptakan intrik dan trik agar ditakuti, ada kecemasan yang sengaja diciptakan, sehingga merasa tergantung bahwa tanpa mereka yang berkuasa keadaan tidak aman, kondisi bisa berbahaya, dan jaminan itu ada di tanganku. Pihak lain tidak akan mampu.
Politik penuh harapan, melihat kekuasaan adalah sarana untuk mengembangkan bangsa, membangun negeri, termasuk manusiannya.Â
Karena melihat sebagai sarana, mereka tidak pernah takut kehilangan kursi kekuasaan, sepanjang pihak lain memiliki kepedulian atas keberadaan bangsa dan negara. Fokus bukan hanya kursi kekuasaan, namun kemajuan bangsa dan negara.
Memerintah
Penganut paham politik harapan, akan melihat kesempatan memerintah itu sebagai pengabdian. Mengabdi bagi bangsa dan negara. Pusatnya adalah kemajuan dan perubahan bangsa dan negara.
Pengikut polittik kecemasan, memerintah itu kesempatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok.Â
Ketika keuntungan itu tidak diperoleh mereka ogah-ogahan, atau menciptakan peluang untuk bisa mengeruk kekekayaan dan menciptakan peluang adanya keuntungan untuk mereka.
Angkatan Perang dan Keamanan
Posisi militer dan polisi adalah alat kekuasaan. Ketaatan mereka pada sosok pemimpin bukan bangsa dan negara. Mereka ini bisa menjadi peneror yang ulung karena memiliki legitimasi hukum. Tentu bagi politikus penyuka kecemasan.
Berbeda dengan politik harapan, militer dan polisi adalah mitra bagi rakyat, bersama rakyat menjadi tertib hukum bersama dan membentengi diri terhadap kemungkinan serangan dari luar. Polisi dan militer tidak ditakuti, justru dicintai.
Kecemasan itu diciptakan, direncanakan, dan menjadi pertimbangan dengan masak. Jika kondisi tenang, kekuasaan bisa goyah dan itu berbahaya. Stabilitas menjadi prioritas, namun stabilitas represif karena menggunakan kekerasan bukan kesadaran.
Ketenangan dan harapan itu bahaya bagi para pengusung politik kecemasan karena mereka tidak memiliki legitimasi untuk bisa berkuasa. Jangan salah mereka akan menggunakan segala cara untuk menggapai kekuasaan.
Fitnah, kepalsuan, kampanye hitam, dan segala macam upaya jahat lainnya bisa menjadi kebanggaan mereka. Ada yang dinilai aneh, bagi mereka adalah prestasi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H