Pemilu mendatang memang unik, bagaimana tidak, ketika pilpres serempak dengan pileg, mau tidak mau konsentrasi terbagi. Koalisi bisa berpikir ulang dan berhitung panjang karena adanya gawe yang cukup besar dan tidak sederhana juga. Sangat bisa dipahami, ketika ada partai yang setengah hati di dalam mengupayakan kemenangan presiden. Toh bukan kadernya, dan sangat mungkin dalam pileg enggan kehilangan pemilihnya. Sangat wajar.
Gerbong mereka telah ramai-ramai menolak menggunakan kampanye negatif, minus Gerindra yang sedang pening, PAN dan Demokrat sudah seolah berhadapan dengan kusta di masa lalu saja. Mereka cepat-cepat mengatakan tidak akan menggunakan kampanye negatif dan memilih cerdas dan santun kata PAN. Demokrat akan kampanye positif mengandalkan dua periode memimpin negeri ini. mereka enggan dekat-dekat dengan model ini, padahal mereka biasanya demikian. dalam konteks ini sebenarnya PKS jauh lebih ksatria.
PKS dan Nyanyian Sunyi
Almarhum Ateng pernah bermain film dengan judul "Ibu Tiri Tidak Sekejam Ibukota," gambaran ibu tiri yang kejam itu sudah diparodikan dalam film itu, ibukota lebih kejam. Tamu tak diundang pun belum semenyesak apa yang dialami PKS. Tamu tak diundang, toh tuan rumah masih bisa basa-basi atau pura-pura tidak tahu. Kalau teman tidak diharapkan, itu pedih mungkin.
Hitung-hitungan toh Gerindra saja yang butuh PKS, soal PAN dan Demokrat jelas tidak peduli PKS mau apapun. Perilaku PAN dan Demokrat yang seolah menohok PKS ya jelas wajar namanya berkompetisi dan kalau rival terkapar atas perilaku sendiri kan tidak salah.
Sejatinya baik PKS, PAN, dan Demokrat toh biasa menggunakan kampanye negatif. Contoh banyak kog tidak perlu dijelaskan lagi, internet menyajikan dengan gamblang dan banyak mengenai hal ini, baik kata pakar, akademisi yang obyektif keilmuan, ataupun politikus yang sudah terpengaruh paham politik.
PAN dalam konteks pilkada pernah mengatakan boleh menggunakan kampanye negatif asal bukan kebencian dan berdasar fakta. Sebagai contoh politikus PAN itu mengatakan, jangan pilih orang Islam namun tidak pernah puasa, ke mesjid, dan sholat. Masih bisa dinalar dan dalam konteks ini bisa dipahami dengan baik.
PKS benar-benar jalan sendirian dalam pemilu kali ini. Beberapakali manufer, aksi mereka sama sekali tidak mendapatkan sambutan yang berarti dari  rekan-rekan mereka. Tidak hanya satu kali, dan hingga kini, hanya wagub DKI saja tetap masih tidak jelas. Apalagi jika bicara jadi bacawapres, apalagi bakal capres. Lha ketua tim pemengan saja tidak.
Heboh taggar ganti presiden, ketika mendapatkan banyak halangan baik regulasi atau massa, partai lain seolah tidak ada yang membela, apalagi menemani. Hanya basa-basi elit satu dua saja yang ikut tenar atas aksi itu. Termasuk ketika pegiat mereka mendapatkan "musibah" Â bom molotov, semua diam.
Hal yang sama ketika ngebet pengin jadi cawapres, mereka menyodorkan sembilan nama, bahkan memberikan ultimatum untuk mereka dipilih dengan tenggat waktu, toh semua hanya gertak sambal, tetap saja namanya tidak ada satupun  yang nyangkut, ketua tim pemenangan atau kampanye saja tidak. Sekali lagi, perjuangan mereka, tanpa ada pihak lain yang menguatkan.
Posisi PKS memang tidak cukup signifikan bagi pihak lain untuk bisa bekerja sama dengan lebih baik, misalnya PAN dan Demokrat. Mereka sama sekali tidak memperhatikan keberadaan PKS. Apalagi Demokrat yang tahu persis reputasi mereka ketika di dalam pemerintahan. Itu sedikit banyak ikut memengaruhi.
Gerindra hanya memerlukan dalam konteks administrasi kecukupan suara nasional dan kursi di dalam mengusung capres mereka. Selain itu, tetap saja pihak lain, bukan pertimbangan ketika mengambil keputusan apapun. Jelas sudah tidak bisa berbuat lain lagi, toh sudah tanda tangan dan tidak bisa berubah.
Faksi di dalam PKS sendiri yang sangat vulgar dan terbuka membuat partai lain juga enggan untuk berakrab-akrab. Ini bukan masalah sepele, namun serius. Bagaimana dengan teman saja sampai ke pengadilan dan berlarut-larut, apalagi jika berhadapan dengan pihak lain, bukan tidak mungkin jauh lebih sadis. Hal ini dibuktikan oleh saling lapor antara Sohibul Imam dan Fahri Hamzah.
Pilihan realistis partai lain untuk berjarak dengan PKS apalagi kampanye negatif yang dilontarkan, padahal  mereka juga melakukan. Mengapa demikian? Orang kebanyakan akan dengan cepat menerima sebagai hal yang jahat, ketika mendengar kata negatif. Itu jelas sangat berdampak bagi pemilih mereka. Partai-partai lain yang tidak memiliki calon dalam pilpres hanya berharap banyak pada pileg dan usaha keras mereka sendiri. Mengurangi potensi kata-kata yang berkonotasi buruk sangat wajar.
Klaim indah, bagus, padahal perilaku sama buruk masih dianggap lebih baik. Miris sebenarnya melihat reputasi politikus haus kuasa namun miskin prestasi ini, hanya ribet pada istilah, namun tidak mengubah esensi pernyataan dan perbuatan mereka.
Mengaku santun, etis, dan positif, toh semua juga paham, apa yang mereka lakukan. Saatnya memilih dengan cerdas bukan hanya wacana namun kinerja dan bukti atas prestasi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H