Gerindra hanya memerlukan dalam konteks administrasi kecukupan suara nasional dan kursi di dalam mengusung capres mereka. Selain itu, tetap saja pihak lain, bukan pertimbangan ketika mengambil keputusan apapun. Jelas sudah tidak bisa berbuat lain lagi, toh sudah tanda tangan dan tidak bisa berubah.
Faksi di dalam PKS sendiri yang sangat vulgar dan terbuka membuat partai lain juga enggan untuk berakrab-akrab. Ini bukan masalah sepele, namun serius. Bagaimana dengan teman saja sampai ke pengadilan dan berlarut-larut, apalagi jika berhadapan dengan pihak lain, bukan tidak mungkin jauh lebih sadis. Hal ini dibuktikan oleh saling lapor antara Sohibul Imam dan Fahri Hamzah.
Pilihan realistis partai lain untuk berjarak dengan PKS apalagi kampanye negatif yang dilontarkan, padahal  mereka juga melakukan. Mengapa demikian? Orang kebanyakan akan dengan cepat menerima sebagai hal yang jahat, ketika mendengar kata negatif. Itu jelas sangat berdampak bagi pemilih mereka. Partai-partai lain yang tidak memiliki calon dalam pilpres hanya berharap banyak pada pileg dan usaha keras mereka sendiri. Mengurangi potensi kata-kata yang berkonotasi buruk sangat wajar.
Klaim indah, bagus, padahal perilaku sama buruk masih dianggap lebih baik. Miris sebenarnya melihat reputasi politikus haus kuasa namun miskin prestasi ini, hanya ribet pada istilah, namun tidak mengubah esensi pernyataan dan perbuatan mereka.
Mengaku santun, etis, dan positif, toh semua juga paham, apa yang mereka lakukan. Saatnya memilih dengan cerdas bukan hanya wacana namun kinerja dan bukti atas prestasi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H