Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Bijak dari Kasus Augie Fantinus

13 Oktober 2018   09:51 Diperbarui: 13 Oktober 2018   14:01 1786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Augie Fantinus| Sumber: Kompas.com/Tri Susanto Setiawan

Cukup menarik, aktual, dan jelas memberikan pembelajaran bersama, bagaimana bijak bermedia itu sangat penting. Berbeda dengan kasus kemarin yang masih juga panas, cenderung politis, kali ini lebih realistis dan bisa terjadi bagi pegiat media sosial termasuk di sini, Kompasiana. Kalau tidak hati-hati, bijak, dan cenderung emosional bisa masuk ranah hukum.

Kisah itu bisa dicari dengan mudah dan masih hangat, tidak perlu mengulangi kisahnya, namun ada beberapa hal yang layak dipetik sebagai pelajaran.

Melihat, membaca, dan mencerna dari pemberitaan, Augie nampaknya tahu bahwa apa yang ia duga tidak sepenuhnya benar demikian. Mengapa? Postingan sudah dihapus, tidak ada bantahan atau ngeles dengan apa yang terjadi. Versi kepolisian pun bisa sangat dipahami, tanpa ada gejolak berarti, beda dengan kasus-kasus lain yang sering tidak sinkron. Ini tidak. Artinya, bisa diambil titik temu memang posisi pasal itu bisa membuat Augie menjadi tersangka

Pertama, mudah dan murahnya media, dan alat komunikasi untuk perekaman bisa menjadi bumerang ketika abai akan konteks yang terjadi. Fakta ada polisi menawarkan tiket, yang dicurigai oleh Augie sebagai calo. Konteks utuhnya ternyata panjang dan itu yang menyeretnya menjadi penghuni tahanan kini.

Kedua, emosional ketika membubuhi keterangan dalam video. Jika video begitu saja, tentu bisa diabaikan orang, namun emosional menambahkan keterangan, apalagi langsung dari lapangan, tempat kejadian bisa menjadi bumerang.

Mengapa? Tidak berjarak, orang bisa melakukan apa saja, lingkungan juga sangat menentukan, pemikiran obyektif dan rasional bisa terkalahkan oleh dorongan hati yang belum tentu demikian yang dimaksudkan. Pertimbangan untuk melihat secara luas bisa terkalahkan.

Alangkah bijak, bisa menunggu sejenak, menarik nafas, dan menjaga jarak atas peristiwa, sehingga bisa menimbang baik buruk, kemungkinan apa yang bisa menjadi potensi masalah dan itu bisa diminimalkan. Dan ini diperlukan agar tidak menjadi bencana bagi semua pihak.

Viral menjadi penting ketika media demikian mudah dan murah serta terjangkau. Nah ketika viral namun berisiko, buat apa coba? Apalagi di tengah gencar-gencarnya antihoax.

Ketiga, melihat rekam jejaknya di dalam pemberitaan, Augie juga tidak aneh-aneh, dibandingkan artis, pesohor yang memang suka main-main dengan hal ini. Misalnya itu Farhat Abas atau Ahmad Dhani, orang sudah akan tahu ah ini sih jelas arahnya ke mana. Beda dengan apa yang Augie lakukan selama ini, masih relatif jauh dari hiruk pikuk politik yang akhir-akhir ini kental dengan kepalsuan.

Keempat, kritis itu boleh, asal dibarengi dengan sikap bijak dan hati-hati. Coba dalam keterangan itu tidak demikian halnya atau isinya, misalnya diberi tambahan tanda tanya "?" atau apakah ini perbuatan calo atau apa sih? Hal-hal sejenis yang bisa menetralisir keadaan, tidak berupa tuduhan yang langsung bisa menjadi masalah berkepanjangan.

Kelima, perlu juga tindakan bijaksana dari penegak hukum, agar misalnya tidak asal orang yang publish sekali soal kesalahan langsung menjadi tersangka, kisah yang identik, di Sulawesi ada orang bercanda kota itu sedang siaga, karena ada mutilasi terhadap marta...ternyata adalah martabak. Becanda kelewatan iya, benar, namun dampaknya apa iya sesignifikan atas perilaku elit yang tidak tahu malu itu? Tidak bukan.

Ada tindakan-tindakan yang berjenjang. Mosok hanya becanda karena dianggap meresahkan kemudian dinilai wajar untuk dibawa ke ranah hukum. Kemudian siapa yang bisa menafsirkan itu meresahkan dan tidak? Kalau itu berkali-kali, rutin candaannya tidak berubah, bolehlah, beda tentu dengan becanda bom di bandara dan pesawat.

Tentu artikel ini tidak hendak membela perilaku Auige, namun bisa menjadi masalah, bahwa apa-apa masuk ranah hukum, apalagi pasal pencemaran nama baik dan UU ITE masih sering kabur dan banyaknya pasal karet. Kepastian hukum belum sepenuhnya ada jaminan.

Keenam, jika memang mau bertindak seperti ini, tegas, cepat, dan lugas, dengan bukti dan saksi yang ada, libas juga itu para elit yang seenak perutnya membuat vdeo, membuat meme, membuat ciutan yang tidak karuan, pimpinan negara lagi yang dijadikan bahan itu. Toh masih banyak yang masih mengulangi lagi dan lagi.

Sepakat bahwa polisi bukan malaikat, polisi banyak masalah, namun di lapangan bisa terjadi model perilaku Augie ini. Dan itu bisa menjadi wujud ketakutan ketika mau mengungkapkan keberadaan polisi yang tidak benar. UU ITE dan pencemaran nama baik membuat membiaknya kejahatan dan perilaku jahat yang seenaknya merajalela karena tidak jelasnya penangannya.

Setuju bahwa penegakan hukum memang harus ditegakan tanpa pandang bulu, namun ketika menyangkut pegiat politik, atau ormas tertentu, mengapa seolah jalan di tempat? Selain lama, biasanya kompromi dengan kata andalan khilaf dan tidak sengaja.

Bijak dan hati-hati menjadi penting agar tidak berurusan dengan pelanggaran hukum. Bisa saja hendak berbuat baik karena salah memilah dan memilih menjadi bencana

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun