Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Politik Tai Kucing Rasa Coklat

12 Oktober 2018   05:00 Diperbarui: 12 Oktober 2018   05:06 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalkulasi mereka itu sudah berat, namun untuk mundur sudah kadung basah, pilih sekalian basah kuyup. Namun karena malu jika basah kuyup, kotor, dan bau, akhirnya menarik orang yang menonton, bersaing dengan baik di tepi kolom. Falsafat tiji tibeh menjadi andalan dan panglima.

Kampanye buruk, kampanye hitam, fitnah, menyembunyikan fakta, menyatakan diri seolah-olah benar, membelokan presepsi, dan keyakinan bisa menjadi kebanggaan semu yang dibangun. Menggerus potensi suara yang masih bisa diupayakan.

Demokrasi memang menggunakan kesepatan dari suara terbanyak, namun bukan pengerahan massa, gerudugan, dan model tekanan massa untuk membentuk opini dan kebenaran. Opini yang hendak dibentuk sesuai dengan keinginan bukan fakta yang telah ada. Rekam jejak sejak 2014  ini nampaknya masih saja menjadi andalan yang padahal jelas tidak menjamin kemenangan.

Kemasifan yang dilakukan, bersama-sama membanjiri media baik arus utama atau sosial dengan isi yang seragam, bersama oleh kelompok sepaham, seolah-olah itu kebenaran yang hakiki, pas ketahuan palsu, ngeles yang tidak jelas juntrungannya. Mosok yang demikian masih dipercaya untuk yang lebih besar dan penting lagi sih?

Emosional, sehingga tidak lagi berpedang pada yang rasional, lebih mengedepankan intuisi bahkan klenik, ini sangat berbahaya, karena apa yang faktual pun tidak dipercaya kalau hasilnya berbeda dengan yang dibayangkan. Ingat bukan sujud syukur, klaim kemenangan dan menuntut ke mana-mana. Jelas karena hitung-hitungan diabaikan.

Salah satu ciri demokrasi adalah damai. Pemilu Orde Baru yang abal-abal memberikan satu hal baik paling tidak dalam lagu, pesta demokrasi mengundang kita..... Pesta rakyat, kegembiraan, bukan ketakutan, intimidasi, dan kemarahan. Malah pilihan diksi perang, tentu jauh berbeda indikasi dan esensi demokrasi sebagai kegembiraan.

Kampanye dan pemilu damai perlu juga dibangun oleh para pelaku kampanye yang berhati dan berpikir damai. Jika hati dan pikirannya sudah rusuh ya sudah, kekacauan dan kekerasan akan hadir dengan sendirinya. Tentunya bukan ini yang kita kehendaki bukan?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun