Apa yang dinyatakan Ratna Sarumpaet cukup menggemparkan jagat perpolitikan bangsa ini. Bagaimana tidak ketika elit negeri beramai-ramai menyatakan kalau telah terjadi penganiayaan pada perempuan, aktivis, dan kog ndilalah, banyak menyuarakan hal yang berbeda dengan arus utama keadaan negeri ini.
Hingga seorang calon presiden, ketua umum partai politik, dan calon wakilnya, hingga anggota dewan seterusnya, ada yang mengadakan konperensi pers, mengunggah kata-kata, gambar bahwa muka bengeb Ratna Sarumpaet usai operasi sebagai karena penganiayaan.
Jelas bahwa hal ini gorengan sangat nikmat, bak pisang goreng tau mendoan di sore hari, hujan, bersama kopi. Mengapa? Karena posisi Ratna yang sering berseberangan dengan pemerintah. Padahal posisi kebersamaan mereka sedang mencari titik masuk  untuk bisa mereduksi ketenaran incumbent. Dengan langkah cepat berita ini langsung diberi saus, lombok rawit, dan lahapan yang laris manis, abai akan beberapa fakta di baliknya.
Tentu masih ingat soal berita tudingan pemerintah melakukan blokade atas dana sekian T bagi Papua dari World Bank. Posisi lemah Ratna Sarumpaet, melengkapi kondisinya yang beberapa kali salah memberikan data, soal PT DI, mengenai uang pecahan Rp.200.000, dan  yang ini membawanya ke kantor polisi dan nampaknya akan berkepanjangan.
Biasanya, mekanisme yang terjadi adalah membuat ciutan di media sosial kemudian menyatakan bahwa itu hanya kesalahan pemahaman, dan memohon maaf, karena bla bla bla... Sangat bisa dipahami ketika kini polisi bekerja dengan relatif cepat. Tidak heran ada petinggi dewan dan parpol yang menuding ini "ada apa-apanya" saking cepatnya.
Kinerja polisi yang cepat, patut dimengerti, layak mendapatkan justru apresiasi, karena adanya "pergerakan" lain yang bisa melebar ke mana-mana. Kepergian ke luar negeri, yang akhirnya membuatnya tertangkap itu tentu sangat menyulitkan pihak kepolisian. Tentu masih ingat betapa mahalnya penangkapan Nazarudin. Yang terbang ke mana-mana. Atau istri waka Polri waktu itu. Polisi juga masih ingat tentunya kepergian Rizieq Shihab.
Lha untung polisi gerak cepat dan menyatakan sebagai tersangka, penangkapan, dan penahanan juga. Entah kehebohan apalagi jika tidak dilakukan penegakan hukum demikian.
Jadi ingat kisah Zaskia Gotik yang pernah berkasus dengan pelecehan Pancasila, sebenarnya sih becanda yang tidak pada tempatnya. Eh malah oleh PKB dijadikan duta Pancasila. Lha memang tidak ada apa, artis, tokoh, atau pesohor lain yang tidak memiliki catatan buruk, minimal ya tidak pernah becanda berlebihan soal Pancasila untuk menjadi duta Pancasila.
Atau Dewi Persik yang berseteru dengan petugas jalan khusus bus Transjakarta, malah dijadikan duta transportasi, tertib busway, atau tertib berlalu lintas. Entah apa yang ada di dalam benak para penggagas ide ini. Pelanggar kemudian malah mendapatkan "penghormatan" yang bisa memberikan kesan, bahwa melanggar nanti kan bisa jadi duta ini dan itu, tidak masalah jika demikian.
Ada beberapa kisah lagi yang berkaitan dengan demikian itu, berangkat dari hal-hal yang buruk malah berujung pada "penghargaan" yang sebetulnya tidak layak dan tidak pada tempatnya.
Apalagi jika polisi tidak bergerak cepat, gorengan ini akan makin asyik dan menyenangkan pihak-pihak tertentu. Label polisi lambat dan perlu copot ini dan itu akan mengemuka, dan bisa menjadi bola salju yang menggelinding liar dan ujungnya jelas istana.
Mengapa banyak yang meradang dengan kecepatan polisi mengungkap kasus ini? Jelas saja mereka  juga akan ikut terseret arus yang telah mereka mulai. Mereka tentu paham bahwa itu lebam bukan karena pukulan, jika pukulan tentu akan ada bagian yang menghitam-biru, nggeseng. Mosok mereka tidak paham bukan? Dan karena tahu inilah, siapa yang akan dijadikan kambing hitam.
Pertama polisi yang dituduh dengan berbagai label karena begitu cepatnya. Iyalah, mereka tidak siap  dan tidak menduga polisi bisa demikian cepat mengungkap kasus ini yang memang sangat lemah. Mudah diungkap, beda dengan kasus Novel yang dijadikan rujukan lamanya oleh mereka yang kaget polisi sukses dan mereka tidak bisa menghindarinya.
Kedua, jelas mereka ramai-ramai balik badan, menuduh bahwa Ratna Sarumpaet sebagai pelaku kebohongan dan semua yang terseret itu hanya korban. Iyakah? Sesederhana itukah? Atau malah bodoh? Sehingga dengan mudah terkelabui, atau maunya memanfaatkan keadaan dan malah akhirnya terlibas bola salju yang menggelinding liar itu?
Ada yang khas dari kelompok ini adalah, begitu sigap, gegap gempita menyebarkan berita, peristiwa, isu, atau kejadian, sangat masif, namun begitu ketahuan ada yang salah, ramai-ramai pula ngelesnya, menuduh pihak lain sebagai pelaku, dan akhirnya mengaku sebagai korban. Menutupinya dengan pengakuan sebagai khilaf dan sambil menyepak pihak lain sebagai pelaku yang lebih parah.
Penegakan hukum oleh polisi ini menjadi penting karena apa yang terjadi hal yang tidak sepele. Mengapa? Karena terjadi pada ibu-ibu bahkan levelnya nenek-nenek yang cukup sepuh. Seorang aktivis sosial yang bergeser pada politik lagi. Posisi politiknya pun  berhadapan dengan pemerintah, bukan bersama pemerintah, tidak heran seorang puteri penguasa Orde Baru sampai menyatakan era bapaknya tidak pernah terjadi yang demikian. Ya memang karena  karena Marsinah masih muda dan buruh bukan elit di Jakarta.
Jokowi langsung terkena dampak besarnya. Apalagi jika penegakan hukum terlambat. Makin susah bagi polisi, apalagi jika benar bisa ke luar negeri dan memberitakan kebohongan itu sebagai benar-benar perilaku kekerasan dari negara, pemerintah yang melakukan perilaku biadab bagi nenek-nenek.
Belum juga ada deklarasi menjadi duta antikekerasan nenek-nenek. Jika itu sudah terjadi dan menjadi viral, entah bagaimana membersihkan benak, persepsi yang telah tertanam dalam banyak benak pemuja kebohongan. Jika terjadi, ini bukan hal yang sederhana lho. Ingat bagaimana kebohongan sejak 2014 pun masih kuat melekat hingga hari ini. Padahal jelas salah dan sesat. Contoh nyata soal PKI dan antiagama tertentu.
Kebohongan, kepalsuan, dan pengubahan persepsi memang cara yang mereka jual. Mengapa demikian? Jelas karena mereka telah gagal mendapatkan momentum untuk menawarkan diri sebagai pasangan yang menjual. Ide mereka makin hari makin tidak jelas.
Mereka selama ini hanya asyik melihat sepak terjang rival dan maunya menyalip di tikungan, parahnya mereka justri keteteran dalam banyak hal yang mereka anggap sebagai momentum. Tikungan demi tikungan dapat dilahap dengan piawai oleh rival mereka.
Ide dan gagasan bukan berangkat dari hal yang mendasar dan memang diperlukan sebagai seseorang pemimpin, eh malah menggoreng kejadian yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Apa yang ada malah makin jauh dari yang seharusnya diperoleh.
Kebohongan demi kebohongan, kepalsuan demi kepalsuan yang dibangun malah justru terkuak atas perilaku mereka sendiri. Dari jenderal kardus hingga operasi plastik, itu mereka sendiri yang melakukan, mereka sendiri pula yang menguak keberadaannya. Dan mereka menilai iu sebagai angin lalu.
Jelas ini ciri pemimpin yang abai akan kebenaran, tanggung jawab, dan komitmen tentunya. Apa iya patut diberi kepercayaan?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H