Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Palu dan Donggala Vs Drama Kepalsuan Ratna Sarumpaet Demi Pilpres

7 Oktober 2018   12:30 Diperbarui: 7 Oktober 2018   15:51 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suka atau tidak, politis atau tidak, toh drama Ratna Sarumpaet bebarengan dengan kesigapan atas penanganan bencana oleh pemerintah yang sekaligus adalah rival di dalam pilpres mendatang.  Miris sebenarnya ketika penanganan bencana dianggap sebagai kesuksesan yang berarti juga membuat beban kerja "penantang" makin berat.

Sekali lagi, ini soal "keuntungan" incumbent, di mana bisa menjadi ajang promosi dan sekaligus menaikan citra positif di dalam berpolitik. Itu benar sepanjang pemerintahannya kacau balau selama ini. Toh tidak demikian. Ajang yang melibatkan pemerintah dan presiden juga dilakukan selama periode kepemimpinannya dengan cara yang relatif sama dan tidak jauh berbeda.

Kemasan visual yang indah dan ternyata membuat nama Jokowi semakin meroket, itu sah-sah saja karena efek atas kecerdasan tim kreatif. Risiko yang sama, jika gagal toh menjadi bahan yang menggelikan dan merongrong keterpilihan dalam pilpres. Susah dong menjadi penantang. Sebenarnya tidak juga. Lihat saja bagaimana pelukan kedua kandidat itu, Prabowo juga mendapatkan kredit point.

Daripada malah memainkan isu bayaran penari dari sekolah-sekolah. Ini kembali, dalam konteks pemilu hal yang sangat wajar merebut panggung, apalagi jika pihak rival demikian tinggi mendapatkan tambahan point. Sepanjang masih berdasar dan bukan fitnah masih lah bisa diterima nalar dan alam demokrasi.

Bencana alam itu ranah duka, yang tidak seharusnya dijadikan "ajang" penilaian popularitas dan kinerja yang dianggap prestasi. Itu adalah kewajiban. Sisi sebelah yang menilai sebagai panggung memang banyak membuat ulah dengan mengatakan tidak mampu, biar wapres saja. Jelas tidak mendasar dan hanya mencari-cari masalah semata.

Kebutuhan dasar dan mendesak, koordinasi  mana bantuan yang penting dan sangat prioritas juga telah dilakukan dengan baik. Kembali, sangat politis ketika menilai pemerintah yang bisa menangani dengan baik sebagai kekurangan hanya dalam kacamata kepentingan politis pilpres semata.

Ketika hal itu tidak mampu juga, menggeser isu kemewahan menjamu tau dalam pertemuan IMF-WB, lagi-lagi sangat tidak mendasar ketika mengaitkan itu dengan bencana. Anggaran untuk bencana sudah ada. Boleh mengatakan tidak peduli, jika korban bencana itu dibiarkan begitu saja, dan di sebelahnya berpesta. Toh ini tidak demikian.

Lagi dan lagi, jika itu dinilai panggung, pembukaan Asian Para Games pun sukses bagi nama Jokowi, sudut pandang pihak satunya. Namun belum ada reduksi yang mau mengaitkan gelaran empat tahunan  ini dengan politis. Sangat menguntungkan memang menjadi incumbent yang bekerja keras dan memberikan dampak yang jelas.

Drama seri ala Ratna Sarumpaet memang memberikan dampak yang cukup besar pagi pasangan nomor 02.  Mereka ceroboh dan gegabah, meskipun itu settingan, mengapa demikian? Ketika awal  mereka seolah mendapatkan durian runtuh untuk bisa mendapatkan panggung, mereka beramai-ramai meminta polisi mengusut dengan cepat, para elit mau menghadap kapolri, dan seterusnya, yang arahnya adalah polisi akan gagal mengungkap itu.

Kepergian ke Cili jelas sudah lama direncanakan, dalam berita yang ada itu sejak Januari telah mencari sponsor. Artinya kegiatan pasti, terjadwal, dan memang akan demikian. Soal di luar sana itu sebagai pelarian, tempat bersembunyi, bisa jadi demikian. Jika memang settingan, itu memang sangat bagus, ketika polisi gagal, dan dia sudah ada di luar negeri sana, di sini bisa terjadi apapun sesuai dengan skenario mereka.

Tidak heran, kini narasi yang dibangun mengapa polisi cepat? Lho dulu minta cepat, ketika cepat, ngambeg? Pembanding adalah kasus Novel B yang masih gelap gulita, tidak bisa sesederhana itu juga dong. Kasusnya berbeda, kisahnya berbeda, dan penangannya juga berbeda pula. Jangan karena kemaluan terbongkar kemudian ngeles dan memaksa untuk sama tiap kasus.

Mau merebut panggung, mereduksi suara pasangan lain, namun tidak dengan kerja keras, suka atau tidak, malah jelas mengurangi poin sendiri. Mengapa demikian? Fokusnya pada  lawan, bukan pada diri dan inti koalisi sendiri. Asyik melihat pergerakan lawan, eh malah terperosok masuk jurang.

Menuduh itu rekayasa pihak rival, penyyelundupan agen lawan, ah masak, selama ini ke  mana saja, benaran, baru kali  ini mempermalukan kebersamaan kalian? Jangan menuduh pihak lawan ketika mendapatkan masalah dari orang yang paling getol menjadi pembela dong.

Ke mana PAN sebagai partai politik coba. Hanya ada Amien dan sang puteri di dalam kisah ini. ketika ada serangan balik karena ketahuan bohong pun mereka sebagai partai diam seribu bahasa. Bisa-bisa mereka sedang menggerutu, dasar jenderal kardus, eh kardus itu mereka terima ya. Mereka sedang pada posisi mencari aman masing-masing demi pileg bukan pilpres.

PKS apa khabar? Hanya Fahri yang pecatan PKS dan Mardani yang masuk dewan sebagai anggota pengganti saja riuh rendah di sana. Sebagai partai diam seribu bahasa. Imbas yang bisa menambah tsunami bagi mereka di pileg mendatang. Situasi yang sangat tidak munguntungkan.

Demokrat pun setali tiga uang, hanya beberapa elit yang sejak awal memang memiliki reputasi asal berbeda dengan pemerintah. Yang awalnya bersimpati pun berbalik badan. Kini mereka akan ramai-ramai menggunakan tema ini untuk membuat mereka naik daun demi pileg bukan pilpres.

Dari Gerindra pun hanya beberapa elit yang sejak dulu kala memang tidak tahu malu di dalam mengelola isu. Benar salah hantam dulu, urusan belakangan.  Apa yang dilakukan secara ugal-ugalan ini sebenarnya malah menggerogoti kepercayaan publik yang dalam beberapa isu mulai tertarik.

Jadi ingat, dulu ketika Rm Mangunwidjaya meninggal, sedang hidup di asrama. Seorang rekan yang biasa becanda mengabarkan kepada kami berita itu. Semua tidak percaya karena reputasi teman yang memang usil ini. Padahal dia melanggar banyak peraturan, ketika itu jam belajar yang harus diam, ia berlari keliling dan berseru kalau ada berita duka.

Tetap teman-teman tidak yakin, sebelum pengumuman lewat jaringan audio, memberitakan warta duka itu, baru rekan-rekan percaya.  Hal sepele, kebiasaan becanda, dan akhirnya tidak dipercaya.

Susah mengelola kepalsuan demi kepalsuan untuk bisa menaikan elektabilitas. Jelas bisa namun tentu juga elektabilitas nya pun palsu. Tidak heran ketika membuat polling lelucon saja, ketika yang didukung kalah, langsung dihapus. Padahal bisa untuk membangun koalisi yang lebih baik dengan hasil itu, tidak mau melihat realitas.

Kepalsuan sebagai basis pemikiran, maka hasilnya pun yang palsu dianggap kebenaran, dan hasil kerja keras pihak lain dinilai sebagai palsu. Menyedihkan jika demikian mau jadi pemimpin. Bagaimana mereka melihat evaluasi yang ada secara obyektif jika demikian, paling-paling model abs gaya lama akan menjadi trend kembali.

Data kemajuan, perubahan, fakta pembangunan yang signifikan pun akan dinilai palsu, karena memang dalam benaknya adalah yang benar itu mereka sendiri. Ilusi, fiksi, dan bahkan jelas-jelas  kebohongan saja dianggap kebenaran, ini karena saking lamanya hidup dalam kepalsuan. Mulai bingung sendiri mana yang benar atau ini rekayasa sendiri.

Merebut panggung itu ya wajar namanya kampanye, ketika tidak memiliki daya dan kemampuan yang cukup paling praktis yang menjatuhkan rival bagaimana pun caranya. Dan itu sudah dimulai. Dengan trik yang itu-itu juga, fitnah, pemutarbalikan fakta, kini ada tambahan pasukan memainkan peran sebagai korban, klop dan lengkap perilaku ugal-ugalan berkumpul.

Pemilu nanti adalah nyata, bukan palsu. Mosok mau nyoblos yang palsu sih?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun