Berbicara Sengkuni dan politik memang sangat asyik. Siapa Sengkuni itu? Ia adalah paman dari para Kurawa. Ia adik kandung dari ibu para Kurawa yang bernama Gendari. Â Ia pula yang menjadi pengasuh para Kurawa. Jadi soal kualitas dan perihidup Kurawa bisa dilihat dari siapa Sengkuni dan apa yang ia tanamkan dan ajarkan.
Sengkuni yang lahir sebagai anak ke empat dalam sebuah istana, namun ia kurang beruntung karena lahir dalam kondisi yang "tidak membanggakan." Ia lahir sebagai bayi yang kecil, kurus, dan berbeda dengan dua abang dan kakak perempuannya yang membanggakan. Belum lagi sikap Prabu Keswara yang memberinya nama Pangeran Trigantalpati. Sang Prabu Keswara seolah malu memiliki putera ini, ia tidak pernah membawa di dalam pertemuan dengan tamu.
Jika abang-abangnya diajarkan ilmu kanuragan dan pengajaran kelas istana, tidak demikian dengan Trigantalpati kecil. Ia hanya mengintip dan belajar olah kanuragan dari para abangnya. Pendidikan otodidak yang membuatnya makin minder. Apalagi adiknya pun lahir dengan badan yang lebih bagus. Ia makin terpuruk.
Mengambil pusaka tamu, membuat Trigantalpati membuat kekacauan dan banjir separo kerajaan. Ia merasa makin tertekan dan ia pergi mengelana dan berganti nama menjadi Arya Suman. Ia berkeliling dari desa ke desa, menjual hiburan dengan cara dia berbicara yang aneh dan tidak jelas. Namun ia juga merasa berat dengan hidup yang bertolak belakang dengan istana.
Kepulangannya tidak mendapatkan sambutan sebagaimana ia bayangkan. Malah berita menyesakan ketika abangnya Gandariya menjadi pangeran anom, yang akan mewarisi tahta Plasajenar, Arya Suman juga mengukuhkan diri menjadi Pangeran Sengkuni. Apa yang ia lakukan jelas hanya menjadi bahan olok-olokan penghuni istana. Kalau kini mungkin menjadi bahan bully-an kelas wahid.
Ketika mendengar kakaknya bersama sang suami pindah ke Gajahoya, ia pun ke sana. Di sana ia menguasai Gajahoya dengan "mengusir" Â Wiratmaja, yang diberi wewenang dan tugas untuk mengawasi dan mengelola Gajahoya dengan keseratus Kurawa. Langkah jitu Sengkuni untuk bisa melampiaskan apa yang ada dalam benak dan hatinya.
Kurawa yang berjumlah 100 itu, bukan persoalan mudah, belum lagi mereka memang tidak pernah mendapatkan yang namanya cukup perhatian dan kasih sayang sebagai seorang anak. Pendidikan mereka pun tidak didapat sepenuhnya. Diperparah kondisi beberapa di antaranya kurang sehat secara mental. Komplek persoalan yang ada. Sengkuni sendiri pun demikian.
Orang yang hidup dalam kondisi pengabaian, pendidikan diperoleh secara tidak sengaja dan tidak terencana, bisa menjadi masalah yang akut. Itulah Kurawa dan Sengkuni yang hidup dalam bentuk yang tidak ideal. Psikologi modern mengatakan bahwa impuls, dorongan dalam melakukan pilihan tindakan dalam hidupnya secara tiba-tiba tanpa pemikiran matang dan masak.
Sangat bisa dipahami, Â latar belakang hidup mereka adalah kekecewaan, pengabaian, dendam, haus kasih sayang, pembuktian diri bahwa ia mampu dan memang harus diakui sebagai manusia, iri hati, dengki, dan seterusnya. Hal-hal ini yang menjadi impuls di dalam bertindak.
Apa akibatnya? Jelas mereka dikuasai oleh emosi, amarah, dan bukan rasional yang mengantar pada hal yang bagus. Apakah mereka sadar? Jelas tidak, apa yang terjadi itu hanya hasrat, dorongan, dan kehendak untuk bisa melampiaskan dendam, pengakuan diri, dan sikap untuk bisa mendapatkan pemenuhan kerinduan paling dasar manusiawi.
Kekuasaan ala Sengkuni dalam diri keponakannya, Duryudana. Proses ke sana dengan intrik dan trik busuk. Memaksakan permainan yang tidak dikuasai rivalnya. Hayo ingat siapa yang main demikian? Â artinya mereka anggota Sengkunian. Aliran politik penuh intrik buruk demi kursi kekuasaan.
Politik balas dendam yang mencapai kekuasaan dengan kepalsuan, kecerobohan, namun menghendaki kemenangan. Sikap iri dan dendam lebih mengemuka. Ketika mereka menang dengan segala tipu daya, tetap saja mereka memasang perangkap untuk menjebak agar Pandawa tidak  bisa kembali ke tahta yang memang haknya itu.
Pengusiran dalam pengembaraan mereka, tetap saja Pandawa dikondisikan untuk tidak bisa kembali, padahal jelas dalam perjanjian permainan itu taruhannya adalah berbatas waktu. Mereka abai akan komitmen, apa yang menjadi dasar berpikir adalah pokoke. Mereka merancang dan merekayasa untuk tetap menguasai kerajaan.
Ketika berkuasa, mereka tidak peduli soal kehidupan bersama, pemerintahan, dan juga pembangunan. Mengapa? Pusatnya adalah kepentingan mereka sendiri. Pengakuan akan keakuan, balas dendam, dan iri hati yang makin meluap untuk dinyatakan dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Dalam konteks modern mereka berlaku seolah-olah demokratis, padahal sejatinya sama sekali tidak demikian. Â Mengaku sebagai punggawa demokrasi, namun mereka memaksakan kehendak, enebar kebencian, dan membolak-balikan fakta seolah kebenaran, dan yang benar malah mereka nyatakan salah. Â Konsistensi dan kesatuan antara ucapan dan perilaku tidak ada.
Apa yang bisa diharapkan politikus Sengkunian ini, jika mereka berteriak taat hukum namun ketika berhadapan dengan penegak hukum mereka tidak mau. Hayo siapa yang menyebarkan kabar palsu ketika dipanggil polisi untuk bersaksi tidak datang. Ada juga yang kabur ke negeri seberang ketika menghadapi masalah hukum. Padahal mereka selama ini berperilaku seolah  paling suci, paling taat hukum. Faktanya? Nol besar.
Ada dua tokoh sentral dengan banyak anggota dalam kisah Sengkuni dan Kurawa itu. Sengkuni sebagai sosok utama, paman yang mendidik Kurawa, dan jelas Kurawa sendiri yang berseratus itu. Pun di dalam hidup bersama sebagai bangsa dan negara ini, kita pun mengalami hal yang identik.
Lihat bagaimana tokoh bangsa yang merasa memperjuangkan perubahan kondisi 98 lalu dengan segala perilakunya. "Mendidik" Kurawa modern untuk menebarkan kepalsuan, berita bohong, dan segala jenis upaya untuk meronngrong keberadaan pemerintahan yang sah.
Kepalsuan demi kepalsuan lahir dan diolah untuk menjadi senjata dan andalan di dalam menggapai kekuasaan. Lha apa yang mau ditawarkan coba jika asyik dan sibuk mencipta kepalsuan semata, padahal persoalan bangsa sudah banyak. Program kerja pun belum ada. Lebih fokus pada hal yang pemenuhan hasrat pribadi dan kelompok yang mengalami keadaan yang sama.
Pemerintahan, kekuasaan, dan pemerintah, sebaiknya dijabat oleh pribadi yang sehat secara jasmani dan rohani, bergaul juga dengan orang yang sehat pula. Bagaimana jika kebersamaan itu hanya oleh sesama orang gagal, semua orang yang sakit hati, pendendam pada obyek yang tidak jelas. Lha mau ke mana jika fokusnya hanya memenuhi hasrat dan kehausan akan pengakuan diri, balas dendam, dan sejenisnya. Kapan berpikir bangsa dan negara?
Siapa Sengkunian itu? Siapa saja yang di dalam berpolitik hanya berdasar atas balas dendam, menghidupi sikap iri dan dengki, susah melihat kelebihan dan prestasi pihak lain, alergi atas kemajuan, dan ingin membuat kekacauan demi kekacauan. Apa yang ada di dalam dirinya adalah yang utama dan pertama. Keberadaan yang di luar adalah menjadi penopangnya untuk menjadi sesuatu.
Siapakah mereka? Jelas tampak dengan gamblang, hidup dengan kepalsuan dan kecerobohan dalam bertindak. Apa iya model demikian yang hendak menjadi pemimpin?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H