Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Jenderal Kardus, Operasi Plastik, dan Kualitas Kepemimpinan

5 Oktober 2018   11:29 Diperbarui: 5 Oktober 2018   11:32 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam Arus Balik, Eyang Pram mengisahkan seorang syahbandar yang terusir karena intrik kotor zamannya, beralih rupa dengan cepat, dari Rangga Iskak menjadi Ki Aji Benggala, dan menapak lebih tinggi Kiai Benggala. Orang yang menggunakan agama sebagai sarana menuju kekuasaan demi uang dan materi. Karena merasa mampu mencuri meriam, yang dipesan oleh Tuban, ia merasa akan menang dengan mudah.

Ia abai akan bagaimana mengoperasikan meriam, perbedaan sistem perang dengan jalan kaki, panah, kuda, dan gajah yang harus digantikan dan diperlengkapi oleh meriam. Ada dua orang pelarian Portugis yang jelas lebih ahli dalam konteks pemakaian meriam, namun karena ceroboh, atau malah bodoh, Ki Aji Benggala merasa ia yang paling benar.

Dua tukang meriam Portugis yang tahu dengan baik sistem perang ala Barat dan meriam, dikatakan dalam nama Allah semua bisa terjadi, bukan karena tak tik perang. Dan malah pasukan sendiri meledak karena jatuhnya bahan peledak hanya sampai jangkauan pasukan kawan bukan lawan.

Ini jelas salah Ki Aji yang fideistis, iman menyelesaikan, iman pun perlu nalar dan upaya. Si Portugis tahu daya jelajah pelurunya belum menjangkau barisan musuh, tidak efektif dan efisien.

Jelas ini bukan karena iman namun karena ceroboh dan mencobai Tuhan untuk memaksa jauh lebih dari batas daya jelajahnya. Jelas pasukan mereka yang tidak seberapa malah hancur lebur senjata sendiri. Senjata makan tuan yang sia-sia.

Berkaca dalam kisah Eyang Pram, ternyata di hari-hari ini hal tersebut terjadi. Bagaimana seorang  pemimpin itu tetap harus mendengarkan yang lebih ahli.  Tidak semua ketrampilan dan keadaan ia kuasai, sehingga perlu mendengarkan ahli atau yang berkompeten. Jika tidak jelas itu adalah perilaku yang ceroboh dan gegabah apalagi sudah menjadikannya berita yang besar.

Keputusan atau pernyataan itu bukan karena emosional, namun rasional, ditimbang baik buruknya untung ruginya. Ki Benggala menghancurkan pasukannya sendiri karena ia emosional, rasionalnya terkelabui oleh keberadaan meriam yang belum sepenuhnya mereka kuasai.

Ketika Prabowo mengadakan konferensi pers, ia memindahkan panggung kisah Ratna Sarumpaet ke pentas media arus utama. Hari-hari sebelumnya itu hanya kisaran media sosial, bukan media arus utama yang jauh lebih berdampak. Padahal hanya berdasar pengakuan sepihak, jika tidak emosional, ia akan mendengar juga adanya suara lain soal dugaan kekerasan itu tidak demikian adanya.

Pemimpin yang baik akan tetap bertanggung jawab atas apa yang ia putuskan. Ki Benggala menyelamatkan diri ke tempat di mana ternyata ia telah menyimpan banyak harta benda di mana anak buahnya tidak tahu. Pasukannya hancur lebur di bawah ketaatan katanya.

Usai kenyataan dikuak sendiri oleh yang awalnya mengaku korban itu, Prabowo dan kawan-kawan beralih peran menjadi korban. Padahal jika mereka ksatria, mereka tetap mengatakan maaf tanpa embel-embel menuding pihak lain. Ada yang menyatakan karena menjawab media, lihat media yang dianggap biang keladi, ia hanya merespons.

Ada yang mengatakan itu hanya soal kecil, atau malah melibatkan pihak lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Pengakuan dan permintaan maaf dengan masih menyoal pihak lain, jelas perilaku yang tidak patut sebagai seorang yang mengaku beragama.

Apalagi malah menyatakan sebagai "penyusup", konspirasi, dan sejenisnya. Sikap yang jauh dari ksatria yang selalu didengung-dengungkan orang yang beragama. Ke mana agama yang telah ia geluti itu kini?

Pemimpin yang bertanggung jawab juga akan ikut bertanggung jawab atas perilaku anak buah. Katanya dalam dunia militer ada yang namanya tidak ada prajurit yang salah, yang ada adalah komandan yang salah. Bandingkan Ki Benggala, di mana ia ketika prajuritnya hangus terbakar, kalau mati masih lah mendingan, yang terbakar sebagian dan harus menanggung perih, panas, dan pedih sendirian.

Usai Prabowo menyatakan Sandiaga Uno sebagai bakal calon pasangannya, Andi Arief menyatakan dasar jenderal kardus. Ia diam saja, dan Sandiaga Uno sendirian menepis ini itu dan menjadi tidak karu-karuan. Jelas karena ia memang belum matang dalam politik.

Kembali ketika Ratna S menjadi bahan pelaporan banyak pihak ia diam saja, ia hanya menyatakan lewat orang-orangnya saja yang tetap membela Prabowo sebagai pemimpin yang  menjadi korban kebohongan Ratna, atau lebih keji korban konspirasi rival politiknya. Bola liar ini pun didiamkan saja oleh Prabowo.

Ki Benggala lari ke tempat persembunyian dengan segala persediaan, termasuk sumber makanan, dan banyak lagi. Ia melarikan diri dari pasukannya yang kocar-kacir. Pemimpin yang baik, akan jatuh bangun bersama dengan anak buah, rekan, dan siapapun yang telah berjuang bersamanya.

Kata Eyang Harto, orang harus tetap di tempat, bukan tinggal glanggang colong playu untuk disebut pemimpin. Selama ini kecenderungan sikap Prabowo meninggalkan anak buahnya yang sedang berkasus, mana pembelaan atau paling tidak simpatinya untuk mereka yang telah berjuang bersamanya. Tidak ada, kecuali orang yang terdekat dan paling getol menyanjungnya model Zon, Taufik, dan sejenisnya.

Kemauan mendengarkan masukan dengan kepala dingin. Kesalahan fatal Ki Benggala adalah ia tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh dua prajurit Portugis. Ia lebih suka masukan dari orang kepercayaannya dan keyakinannya sendiri yang dibalut oleh agama.  Masukan yang obyektif tersisihkan.

Prabowo mengabaikan kata ahli kedokteran dan ahli bedah kecantikan, karena ia lebih yakin pengakuan koleganya terlebih dahulu. Hal yang tidak salah, namun gegabah dan tidak patut sebagai pemimpin bersikap demikian.

Rekam jejak kepemimpinan itu penting, bagaimana orang bisa dipercaya itu oleh perilakunya dalam rangkaian tanggung jawab yang ia emban. Tidak bisa hanya sesaat, satu kasus atau peristiwa dan sukses kemudian menjadi keyakinan untuk dapat menjadi acuan di dalam menjatuhkan pilihan.

Kisah jenderal kardus dan operasi plastik memberikan pelajaran berharga, bagaimana pemimpin itu seharusnya bersikap. Berlatih ksatria bukan malah melarikan diri, apalagi jika membuat lompatan logika bak bambu gila karena meradang memberikan poin buat lawan.

Susah dan memang belum menjadi sebentuk budaya bangsa ini bersikap ksatria. Didikan mennyalahkan pihak lain sejak dini di ajarkan, bagaimana kalau anak-anak jatuh, dikatakan kodok melompat, lantainya nakal, dan sejenisnya. Ini hal kecil sejak dini yang direkam sebagai kambing hitam paling mudah dan enak.

Apa iya, pemimpin ceroboh dan gegabah,  meninggalkan anak buah sendirian, biasa menimpakan kesalahan pihak lain layak didukung? Hal ini bukan hanya sekali dua kali lho, buka dan tanya saja Mbah Gugle dan akan berderet data yang menyatakan hal itu.

Terima kasih dan salam

Sumber inspirasi: Arus Balik, Pramoedja Ananta Toer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun