Perkelahian dan kekerasan apa mungkin bisa hilang dengan model hidup demikian? Jelas saja tidak. Dalih dan alasan mabuk lah, di bawah kendali obat, atau cemburu, merasa adanya ketidakadilan, dan seterusnya. Itu kehidupan sehari-hari.
Kembali pada esensi pengertian sederhana tukiman itu, jelas mereduksi kemanusiaan, manusia yang memenuhi hasrat mempertahankan hidup yang paling dasariah. Hidup manusiawi itu juga bersifat sosial. Bagaimana jika relasi itu hanya semata transaksional semata?
Hidup sosial bersama yang lain. Apa iya mereka juga melakoni hidup sebagai anggota masyarakat umumnya, ada sosialisasi, saling kenal dan kunjung? Atau malah hanya sikap protektif, saling curiga, dan kepentingan uang dan kesenangan saja yang ada?
Hidup dalam masyarakat, status relasional itu jelas, lajang, menikah, janda, duda, Â alasan menjadi atau duda, meninggal atau cerai. Status mereka itu susah semua, bahkan bisa menjadi satu perempuan banyak laki-laki, atau banyak laki-laki juga banyak perempuan.
Jika terjadi kehamilan, potensi aborsi jauh lebih besar, dengan asumsi, ia tidak bisa "bekerja" sekian lama, siapa si bapak juga jadi sumir, bisa ribut ke mana-mana. Aborsi pilihan paling realistis, apa benar? Jelas tidak secara moral, namun apa masih ada moral bicara dalam lingkungan demikian?
Pendidikan anak di rumah, apakah terjamin, apakah ibu ketika pulang bisa berperan sebagai ibu dan istri yang ini persoalan lain lagi, yang tidak kalah peliknya. Apa iya generasi penerus dikelola dengan modal sosial seperti ini?
Elit sedang berebut bener, tempe setipis kartu atmlah, dolar yang begini begitulah, atau si anu gak pulang-pulang, istana begini dan begitu, kampanye harusnya demikian, bukan begini, dan sebagainya, padahal di depan mata persoalan masyarakat yang mendasar malah terabaikan.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H