Indikasi paling kuat sebagaimana dinyatakan dalam buku itu adalah, sekolah bahkan sekolah dasar telah disusupi perilaku ini, mereka merekrut guru dari kalangan mereka. Dilaporkan ada anak sekolah dasar mengatakan orang tuanya kafir ketika ada adzan mereka masih ada di depan televisi. Bayangkan coba anak SD, menuding orang tuanya kafir, apa iya ia sudah paham dengan baik apa itu kafir, tugas dan kewajiban beragama, apalagi jika berhadapan dengan sosiologis hidup bersama dan seterusnya.
Fakta sahih juga terbaru, 2018 baru bulan kemarin, bagaimana seorang siswi Nonmuslim dipaksa mengenakan pakaian Muslim, padahal jelas sekolah negeri. Ini sekolah negeri, di negeri Indonesia lho. Â Padahal jelas negara menjamin kebebasan beragama dan berekspresi sesuai dengan agama masing-masing. Sudah dibubarkan saja masih bisa eksis bukan?
Perda-perda Syariah, dinilai juga hanya mencari jalan pintas dan instan di dalam pemilu, bukan berpikir mengenai hidup beragama dan bersama dengan lebih baik. Mereka yang mau terpilih lagi, karena memang lemah dalam prestasi bisa tiba-tiba menemukan jargon syariah, perilaku syariah, dan jelas perda syariah.
Soal ternyata bertentangan dengan UU yang lebih atas, atau dalam penegakan nantinya nol besar bukan pertimbangan mereka. Lihat saja bagaimana  perilaku dan korupsi juga masih merajalela, hidup baik sebagai tujuan adanya UU dan peraturan toh masih jauh dari harapan.
Selalu mengatakan di depan bahwa perda syariah itu  tetap menjamin hak pemeluk agama lain, secara faktual juga tidak terjadi. dilaporkan oleh buku itu, ada pegawai bank swasta, beragama lain pun harus menggunakan pakaian Muslim, lagi-lagi atas nama perda syariah.
Ketika HTI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, padahal perilaku ugal-ugalan mereka sudah menyusup demikian jauh, apakah mudah membubarkan mereka? Padahal strukturnya saja mereka langsung hilang bak ditelan bumi, apalagi yang sekadar simpatisan.
Mereka bisa berkamuflase dalam ragam apa saja, dalam rupa bagaimanapun, susah untuk dijerat sebagai anggota organisasi terlarang, seperti PKI oleh orde lampau itu. Apa yang bisa dihadapi adalah melihat gelagat mereka, pikiran dan ide mereka,
Mengafirkan atau mengomuniskan pihak lain yang berbeda dengan mereka. Siapakah mereka? Jelas banyak dan siapa saja mereka toh kita sama-sama tahu. Dan susahnya itu masih belum bisa ditindak sebagai pelanggar hukum. Ngelesnya nanti adalah atas nama kebebasan perpendapat dan berekspresi.
Mendengungkan khilafah dan menyingkirkan Pancasila dan UUD'45 bagi pemahaman mereka, munafik ini banyak ketika di depan umum akan menampilkan diri sebagai pembela Pancasila dan UUD '45. Lagi-lagi, ini pun sejatinya banyak diketahui, namun mereka lagi dan lagi menggunakan dalih mana pelanggaran hukumnya. Munafik lagi.
Mereka ini seolah menjadi maaf PSK yang dibubarkan lokalisasinya, sehingga bisa mangkal di sembarang tempat, ada di rel kereta api, resto mewah ataupun  warung di tanggul kali. Lebih sulit dideteksi di dalam menularkan "penyakit" mereka.
Meminjam penutup dalam buku tersebut,