Buku yang terbit 2009 ini, selayaknya menjadi konsumsi wajib bagi mahasiswa baru, laiknya film G-30 S yang dulu juga wajib bahkan dari anak sekolah dasar.
Mengapa demikian? Â Buku ini hasil kerja dua ormas terbesar bangsa ini, NU dan Muhamadiyah yang bekerjasama dengan kerja keras oleh para master dan doktor mereka berkolaborasi dan melahirkan mahakarya bagi NKRI.
Studi lapangan hampir seluruh pulau besar di Indonesia mereka datangi dan jadikan bahan telaah dalam buku ini. Jawa jelas, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan tidak ketinggalan Maluku. Mereka juga melahap literatur dari perpustakaan-perpustakaan.
Jika dulu DI-TII itu jelas, organisasinya, itu, di sana, dan para anggotanya ketahuan nama-nama, domisili, dan pekerjaannya, kini itu semua berubah dan berbeda. Infiltrasi dalam ormas dan lembaga negara menjadi cara mereka kini.  Pada akar rumput, pola mereka menggunakan cara  menggambil alih masjid karena pertimbangan ekonomis, membangun mahal, izin juga tidak mudah, keberadaan masjid sudah banyak.
Mereka awalnya membantu membersihkan  masjid, pelayanan gratis untuk banyak acara dan hal, menawarkan diri mengisi khotbah dan pengajan. Ketika kepercayaan makin besar, mereka mengajak beberapa rekannya untuk mengambil alih takmir masjid. Kesaksian ini pernah pula ada yang menuliskannya di Kompasiana. Dalih yang ada biasanya senada, pengurus lama tidak cukup Islami dan perlu diganti.
Penyusun buku ini memasukan kesaksian organisasi mereka, bahwa NU merasakan bagaimana mereka mengalami pergeseran yang cukup besar dalam hidup sehari-hari yang berkaitan dengan perihidup bersama dan beragama tentunya. Ziarah kubur yang biasanya akrab dikatakan sebagai tidak perlu, perayaan Maulid Nabi sebagai tidak ada sejarahnya, tahlilan juga mulai banyak ditinggalkan (hal. 190).
Muhammadiyah merasakan perbedaan dalam organisasi mereka yang memang lebih terasa organisatoris dan birokratis. Organisasi yang berjalan dengan dinamis, namun sering adanya konflik soal di dalam, ternyata mereka sudah disusupi kelompok yang memiliki cukup jauh berbeda dalam memandang negara. Mereka memutuskan melarang kader mereka terlibat dalam partai PKS (hal. 179).
Jika ormas keagamaan saja bisa mereka susupi, apalagi dunia militer, kepolisaan, dan birokrasi lainnya. DI-TII jelas ada pada posisi berhadap-hadapan, bisa jelas dilihat, apalagi kemudian memberontak, ini berbeda karena mereka pun ada di dalam tubuh organisasi negeri ini. Indikasi yang mudah dilihat adalah bagaimana mereka mudah mengatakan pihak yang berbeda itu kafir padahal jelas seagama. Yang berbeda sebagai sesat, padahal secara umum tidak demikian.
Kita bisa saksikan, bagaimana ASN, pejabat militer, atau kepolisian, di lembaga-lembaga lain, yang memiliki kecenderungan demikian. Pengajian eksklusif, yang bukan "kelompok" tidak boleh, mengundang penceramah harus ini dan bukan itu, dan itu memiliki warna yang berbeda dengan jiwa bangsa dan negara Indonesia.
Bagaimana mau mengatasi hal demikian coba, ketika penghianat demokrasi itu pun nantinya menggunakan dalih demokrasi untuk menggugat pembubaran mereka. Cara-cara mereka merusak demokrasi dalam hidup bersama namun mereka berteriak juga seolah paling demokratis. Mereka tidak peduli kebenaran secara umum, mereka hanya menggunakan kebenaran tafsir mereka sendiri. Kembali ini khas perilaku mereka. Mendengungkan agama namun perilakunya jauh dari kaidah beragama, menyerukan demokrasi  ketika mereka butuh, dan ketika terdesak mereka seolah paling demokratis.
Hasil pembiaran selama paling tidak sepuluh tahun, buku ini dirilis 2009, dan hinngga 2017 baru ada aksi pembekuan HTI, dengan segala trik dan intrik mereka untuk tetap bertahan, dan kepentingan pemilu 2019, beberapa pihak turut membantu mereka untuk kembali eksis. Jelas siapa saja mereka dan apa mereka tidak tahu? Jelas mereka tahu, hanya mau melawan pemerintah yang telah membuat mereka morat-marit.