Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebenaran Universal dan Kebenaran Pribadi

25 September 2018   05:00 Diperbarui: 25 September 2018   05:33 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Musim kemarau ini lumayan panjang dan cukup terik dibandingkan beberapa waktu terakhir, dengan kemarau yang sama. Dekat dengan Rawa Pening, bukan tidak mengalami susahnya air. Hampir semua sawah kini tidak bisa ditanami padi, kecuali ketela atau ubi yang memang tidak perlu banyak air. Sumur-sumur cukup banyak yang kering, dan sensitifitas cukup banyak terbit karena memang berebut benar dan berebut air yang sering menjadi ribet.

Kebenaran mutlak dan universal itu memang tidak akan ada di dunia ini. Apa yang bisa menjadi rujukan nilai adalah semakin banyak orang yang memiliki keyakinan yang sama, memiliki azas manfaat yang lebih besar dan lebih banyak daripada yang menilai sebaliknya, dan batasan-batasan umum lainnya. Jika masih terbatas pada persamaan-persamaan tertentu itu artinya masih versi pribadi atau kelomok semata. Minimal berdasar hukum positif atau norma yang umum akui.

Cukup bagus  menjadi permenungan, di mana ada seorang yang bersikap kritis dan mau menjadikan tema soal penghematan air dalam pertemuan RT, ketika menyaksikan tetangganya yang menyiram tanaman dinilainya pemborosan. Dia lupa, bahwa air yang dipakai untuk menyiram tanaman itu bukan air ledeng umum, namun sumur pribadi, orang juga bebas mengambil jika mau dan tidak malu.  Orang yang sama ini, suami dan menantunya memiliki usaha jual burung kicauan. Kalau memandikan burung dengan air ledeng umum, toh juga banyak dan sering krannya dimatikan tetangga karena sering lupa.

Pemborosan dan Kebutuhan

Cukup menarik, orang bisa menjadi demikian sensitif ketika kekurangan, namun bagaimana saat air melimpah. Sangat normal menggunakan air untuk menyiram tanaman, apalagi jika tanaman itu memang dipetik hasilnya. Pun memandikan burung itu juga kebutuhan, bukan pemborosan.  Ternyata orang bisa mudah menuduh orang lain memboroskan tanpa mau tahu apa di balik itu semua. Apa iya, tanaman yang siap petik harus dibiarkan kering dan malah justru lebih boros, hanya karena tidak peduli orang yang kekurangan air. Konteks ini air juga sudah dipersilakan bagi yang mau mengambil, orang menjual  air keliling juga relatif terjangkau, tidak ada krisis yang harus memilih antara hidup orang atau hidup tanaman.

Mudahnya Menilai Pihak Lain

Kebiasaan dan tabiat, entah dari mana orang dengan ringan dan mudah menilai pihak lain sebagai si "jahat" dan dirinya si "pahlawan". Sikap menuduh dan menghakimi ini hampir setiap saat hilir mudik dalam media kita, baik sosial ataupun media massa arus utama. Belum tentu yang terlihat itu sesederhana yang dinilai itu. Beberapa hal yang bisa menjadi pemicu adalah:

Sikap kritis yang tidak mendasar karena banyaknya pendukung menjadi seolah-olah benar menjadi penyumbang dan penguat atas sikap ini. Dan ketika  kondisi terdesak dan salah menilai dengan enteng akan mudah mengaku khilaf dan merasa selesai. Ini berkaitan dengan sikap mental berikutnya.

Sikap bertanggung jawab yang rendah. Apa yang diucapkan seolah tidak memiliki impilkasi yang  baik ataupun buruk bagi hidup bersama. Pertanggungjawaban atas ucapan itu sering tidak ada. Seolah bicara hanya maaf kentut, keluar tanpa ada saringan dan tidak membawa dampak.

Keteladanan elit. Setiap saat menyasikan elit agama apalagi politik yang jelas-jelas berbicara tanpa dasar, mengedepankan asumsi pribadi seolah sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Dengan mudah kog kita akan menemukan dan menjejerkan itu sebagai bukti jika mau. Baik elit agama apalagi jika elit politik negeri ini yang berbicara. Jelas melanggar hukum saja masih bisa mengatakan sebagai benar kog, versi mereka.

Kesetiaan atas konsensus hidup bersama. Entah mengapa akhir-akhir ini tabiat menang-menangan atas perilaku pokok e, banyak teman dan bisa mempengaruhi massa bisa menentukan kebenaran. Ini berkaitan dengan makin lemahnya atas komitmen hidup bersama. Menyumbang pera juga perilaku munafik yang bisa mengatakan apa yang berbeda padahal jelas-jelas bukti dan data terpampang. Mengingkari darah saja bisa dengan bangga, apalagi hanya konsensus dan perjanjian tak tertulis hidup bersama.

Pelabelan dan pemisahan sebagai pihak lain. Berbeda sama dengan musuh juga menyumbang peran besar untuk perilaku hidup menang-menang dan rendah sikap mencari kebenaran yang hakiki. Orang lebih menyukai perbedaan daripada persamaan, mengedepankan identitas yang tidak mendasar, dan malah suka akan ketidaktenangan hidup bersama.

Viral. Ini penyakit baru ketika lepas pantas atau tidak, baik atau tidak, yang penting viral dulu. Dan perilaku politik pun ternyata demikian. Sangat mungkin menjadi "penyemangat" secara negatif tentunya.

Upaya apa yang bisa dicari sehingga mengurangi sikap demikian?

Sikap mau menimbang dan melihat sebaliknya. Jika aku pada posisi itu apa yang aku inginkan. Hal ini penting, sehingga orang juga tidak akan dengan serta merta menilai dan menuding. Akan panjang pikir sebelum berucap karena menggunakan saringan terlebih dahulu.

Pendidikan sekolah dan agama bukan sekadar hapalan dan runtutan kurikulum, namun juga diajak berpikir kritis bertanggung jawab. Tidak sekadar ritual dan apalan, namun bagaimana mengamalkan dalam perihidup dan selalu menjadikan itu pedoman hidup. Adanya satu perkataan dan perbuatan, bukan asal-asalan.

Elit perlu mawasdiri bukan semata mengejar kekuasaan dengan menggunakan segala cara, namun bertanding secara elegan dan sportif. Selama ini yang menebar kebencian, caci maki pun melenggang atas nama demokrasi. Padahal itu jelas penghianat demokrasi yang sejati.

Apa iya cucu-cucu negeri ini mendapatkan hibah dan warisan tabiat jahat seperti ini, pembiaran yang membuat makin ke sini makin parah. Keterbukaan budi menjadi penting agar makin dewasa dan bijaksana.

Terima kasih dan salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun