Sebulan lebih sekidit kalapas Sukamiskin terkena OTT, dilanjutkan dengan adanya drama lanjutan dengan sel palsu saat dalam acara televisi, mengerikan ketika ada lembaga negara mengadakan sidak, ketahuanlah Setnov membuat kisah baru, kamar yang bisa digunakan untuk "diskusi" dengan napi kelas kakap juga Nazarudin.
Cukup menarik karena dengan adanya berita eksnapi korupsi boleh melenggang untuk kembali ikut pencalonan atas nama hukum yang lebih tinggi, UU atas PKPU. Hal yang wajar dari segi hukum, dan memang demikian. Melihat hal ini jadi terlihat bagaimana penjara negara ini dikelola. (lain ulasan)
Kaget juga ketika Setnov menyatakan menerima dan langsung dieksekusi sebagai narapidana, jika melihat reputasinya untuk lolos dari berbagai kasus korupsi. Belum lagi ketika drama bakpao dan seterusnya hingga mencret di persidangan praperadilan. Begitu liat dan gigih untuk bisa lepas dari jerat, ketika disidang langsung menerima, ini tidak mungkin tanpa pertimbangan.
Beberapa saat sebelum adanya kunjungan Ombudsman, Setnov mengeluhkan betapa susahnya menyiapkan dana atau uang pengganti, semua teman lari dan tidak ada lagi yang bisa dimintai tolong, ini jelas drama banget. Menyimak pemberitaan dia diskusi dengan Nazar berarti bisa apa saja dan ke mana saja arah korupsi di Indonesia. Mereka bisa menuding dan menahan siapa-siapa yang akan dimasukan penjara. Ingat dua kesaksian  bisa menjadi kuat, apalagi bukti mereka pasti bisa menyiapkan. Baik yang benar-benar atau buatan, tidak sulit bagi mereka berdua.
Berkaitan dengan eksnapi nyaleg, benar bahwa PKPU berpotensi berlawanan dengan UU, menyaksikan fakta di depan mata, bahwa pelaku korup ini, sama sekali tidak ada efek jera. Mereka berulang kali masih melakukan hal yang sama. Korup lagi korup lagi, kalau dulu melakukan mark-up, atau memainkan anggaran, kini jelas "membeli aparat"  penegak hukum dengan uang suap tentunya sehingga bisa memiliki fasilitas dan juga kesempatan yang berbeda.
Pelaku itu menjalani pidana dengan penjara memang benar sebagai silih, sudah menjadi bersih kembali, dan pulih haknya di dalam bermasyarakat dan bernegara, itu idealnya, namun apakah demikian? Ini yang menjadi  masalah dan persoalan lebih lanjut.
Ketika pidana dan penjara belum sepenuhnya membuat efek jera, potensi pengulangan perilaku yang sama masih dilakukan, mau tidak mau, upaya perlindungan hukum bagi warga negara yang dirugikan perlu lebih keras, tegas, dan banyak. Miris memang ketika demi mnghambat penjahat begitu susahnya, padahal mengaku negara beragama dan memiliki Pancasila yang demikian luhur.
Apakah yakin kalau pelaku korupsi, sudah dimasukan penjara yang ternyata melakukan kejahatan yang identik, kemudian mengambil jalur yang sama untuk bisa kembali korupsi diyakini mereka sudah berubah? Benar dan sepakat, bahwa harus memberikan kesempatan orang untuk berubah dan praduga tak bersalah. Menyaksikan kenyataan seperti ini praduga bersalah pun tidak salah digunakan untuk melindungi dari penyakit yang merusak ini. Ini bukan main-main.
Efek jera menjadi kurang begit terasa karena miskinnya inovasi di dalam menjalankan penegakan hukum. Satu dua hakim yang mau keluar dari pakem, pun entah benar atau tidak di dalam menjalankan putusan itu. Paling tidak beberapa hal bisa dilakukan.
Pemiskinan. Ini jauh dari harapan, toh pelaku korupsi masih saja kaya untuk bisa melakukan suap, membeli aparat dan perangkat hukum untuk mereka bisa mendapatkan kesempatan yang berbeda dengan seharusnya. Ini jelas mereka belum berubah dan akan menjadi sebagai balas dendam bukan tidak mungkin.
Penegakan hukum. Hal ini lemas, normatif, dan prosedural. Tidak pernah ada sosialisasi bagaimana pelaku korupsi yang berulang itu, apakah mereka mendapatkan tambahan hukuman atau tetap seperti itu. Jelas saja ini menjadi penghambat utama penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.