Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi, Belajar dari Nauru, Subsidi, dan SDA

11 September 2018   18:57 Diperbarui: 11 September 2018   19:16 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat mau menuliskan artikel ini, dalam perbincangan grup, seorang rekan berkisah kalau pasangannya bersikukuh memilih dan membela Prabowo. Sudut pandang yang dilihat adalah militerisme yang bisa bermakna nasionalis. Apalagi Jokowi ketika menang memilih untuk mencabut subsidi, membuat makin jauh ada kesempatan bisa menyamakan persepsi dalam pilihan politik ini.

Namun kini semua itu berubah, bagaimana ia memandang ternyata subsidi yang dicabut dipergunakan sebagaimana mestinya. Penggunaan dana yang tepat sasaran. Syukur ada perubahan pandangan dan menjadi jembatan baik bagi relasi berkeluarga.

Nauru merupakan negara terkaya di dunia hingga tahun 80-an. Penghasil phosphat terbaik dengan kandungan sangat besar, mereka sangat kaya raya. Ekspor yang menghasilkan 2,5 M dalam dollar tentunya, hanya untuk penduduk pad kisaran hanya sepuluh ribuan, sangat wajar menjadi negara paling kaya. Luasan wilayah yang hanya 21 km2 kini berubah banyak.

Mereka ketika kaya-raya banyak  memberikan dana dan "kemanjaan" bagi rakyatnya. Ada sebuah lelucon bahwa tissu toilet mereka itu menggunakan uang pecahan $5. Subsidi dalam banyak hal, bahkan gratis untuk kesehatan, transportasi, pendidikan, jika mau dikirim ke Australia. Padahal jaraknya 4000 km jauhnya, gratis. Jika ada gangguan kesehatan itu tidak mampu dalam negeri, kembali Australia menjadi tujuan.

Penduduk pengidap obesitas tertinggi di dunia, sangat wajar karena mereka benar-benar manja. Tidak ada pajak  untuk negara, bahkan kerja pun seolah tidak ada. Lebih banyak berlibur ke luar negeri dan sama sekali tidak pernah berpikir untuk menawarkan negara mereka untuk wisata.

Dan itu, masa lalu, kini, 80% tanahnya hancur bekas tambang phosphat. Tidak ada lagi bangsa lain yang ingat, baik Australia, Jerman, atau manapun yang dulu menikmati uang dari mereka. Kini hidup dari sepenuhnya impor, dan kini hampir sepenuhnya hutang. Bangkrut telah melanda.

Upaya untuk menutupi keadaan buruk memang dilakukan, namun apa daya mereka malah tertipu berkali-kali yang membuat mereka makin berat. Berkali-kali mereka terkena penipuan atas nama konsultan keuangan. Padahal rakyatnya sudah terbiasa manja dan tidak pernah bekerja keras.

Layanan telephon seks menjadi sebentuk solusi yang hendak dicoba untuk mengatasi kerusakan yang sudah makin dalam itu. Recoveri tanah juga perlu banyak dana. Mau menawarkan pariwisata, sangat susah karena hanya 200 orang yang berkunjung ke sana selama ini.

Apa yang terjadi di Nauru sangat bisa terjadi di sini, dengan konteks yang tidak sama persis. Namun bisa menjadi kenyataan jika subsidi yang merajalela sekian puluh tahun pada sektor BBM, hanya dibakar itu, masih dilanjutkan hanya karena kepentingan segelintir elit yang bisa mendapatkan keuntungan atas impor minyak. Teriak-teriak itu bukan atas nama cinta tanah air namun karena cinta uang yang potensi hilang kalau dikelola dengan baik.

Sumber daya  alam juga terbatas, jangan dianggap semua itu tak terbatas. Pengelolaan dengan sembrono sekian puluh tahun lalu, kembali demi mendapatkan keuntungan untuk keluarga, klan, dan orang-orang dalam lingkarannya, bandit menetap, kini beralih pada bandit mengembara yang tidak kenal ampun tamaknya. Apapun disikat mau dana sosial ataupun dana pembangunan.

Seolah gampang, usai menumbangkan satu rezim otoriter, akan bisa diperoleh kesejahteraan. Ternyata tidak sesederhana itu. Mengapa? Karena masih banyaknya bandit-bandit yang masih bisa bersalin rupa dan mengaku reformis dan demokratis, namun perilaku banditnya tidak berubah. Perlaku jahat makin merajalela dan meruyak di mana saja.

Kesempatan menjadi pemegang kekuasaan pun bisa dilihat seperti apa wujudnya. Kini, ketika ada perubahan signifikan, subsidi dicabut, disalurkan dengan baik dan semestinya, bandit ini berteriak-teriak untuk kembali mengambil alih dengan dalih demokratis. Mereka bukan berjuang lebih baik bagi bangsa dan negara, namun lebih mementingkan lumbung mereka yang mulai lowong karena pemasukan mereka makin seret.

Siapa saja mereka ini? Jelas saja yang memiliki rekam jejak korup, kolutif, dan nepotis, mereka bersaling baju, namun perilakunya masih sama, tidak ada perubahan, namun mengaku demokrat sejati. Berpikir dan berorientasi proyek dan fee, ketika pembangunan berjalan lancar akan dinafikan dan disebut rakyat tidak kenyang dengan beton.

Kerja keras dan kerja cerdas dilawan dengan narasi ala kadarnya sebagai pencitraan karena perilaku mereka yang memang demikian. Jadi ini sejatinya refleksi atas perilaku sendiri, yang disematkan pada kelompok yang sedang bekerja dengan semestinya.

Berteriak-teriak sebagai pembela masyarakat, namun mereka sendiri menjaga jarak dengan rakyat. Ketika mengatakan rakyat menderita, padahal mereka bahagia dan menumpuk harta. Siapakah mereka, jelas tahu dengan gamblang rakyat itu tidak bodoh sebagaimana mereka yang bodoh namun bisa berkuasa karena KKN.

Apa iya Indonesia mau seperti Nauru karena memilih pemimpin tamak, culas, dan selalu menuding, padahal dianya gagal dalam banyak hal. Kaya raya namun mengatakan rakyat menderita, konkret apa yang mereka lakukan tidak ada. Bagaimana mereka berteman dengan mafia-mafia yang menjerat rakyat dengan sangat kejam. Harapan itu mulai terwujud, apa iya mau dikembalikan ke si tamak dna pengeluh itu?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun