Kesempatan menjadi pemegang kekuasaan pun bisa dilihat seperti apa wujudnya. Kini, ketika ada perubahan signifikan, subsidi dicabut, disalurkan dengan baik dan semestinya, bandit ini berteriak-teriak untuk kembali mengambil alih dengan dalih demokratis. Mereka bukan berjuang lebih baik bagi bangsa dan negara, namun lebih mementingkan lumbung mereka yang mulai lowong karena pemasukan mereka makin seret.
Siapa saja mereka ini? Jelas saja yang memiliki rekam jejak korup, kolutif, dan nepotis, mereka bersaling baju, namun perilakunya masih sama, tidak ada perubahan, namun mengaku demokrat sejati. Berpikir dan berorientasi proyek dan fee, ketika pembangunan berjalan lancar akan dinafikan dan disebut rakyat tidak kenyang dengan beton.
Kerja keras dan kerja cerdas dilawan dengan narasi ala kadarnya sebagai pencitraan karena perilaku mereka yang memang demikian. Jadi ini sejatinya refleksi atas perilaku sendiri, yang disematkan pada kelompok yang sedang bekerja dengan semestinya.
Berteriak-teriak sebagai pembela masyarakat, namun mereka sendiri menjaga jarak dengan rakyat. Ketika mengatakan rakyat menderita, padahal mereka bahagia dan menumpuk harta. Siapakah mereka, jelas tahu dengan gamblang rakyat itu tidak bodoh sebagaimana mereka yang bodoh namun bisa berkuasa karena KKN.
Apa iya Indonesia mau seperti Nauru karena memilih pemimpin tamak, culas, dan selalu menuding, padahal dianya gagal dalam banyak hal. Kaya raya namun mengatakan rakyat menderita, konkret apa yang mereka lakukan tidak ada. Bagaimana mereka berteman dengan mafia-mafia yang menjerat rakyat dengan sangat kejam. Harapan itu mulai terwujud, apa iya mau dikembalikan ke si tamak dna pengeluh itu?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H