Gerindra ini mau koalisi dalam pilpres atau mau dukungan untuk partainya sendiri dengan mengaibaikan partai lain? Cukup panas juga ketika ketiga partai pendukung, PKS, PAN, dan Demokrat belakangan bergabung dengan mau semua pada posisi wakil presiden. Ketiganya bersikukuh harus kader mereka, tanpa mau tahu kondisi kebersamaan, dan ujungnya juga survey. Tiba-tiba menyeruak nama Sandi dengan menggusur nama tenar AHY dan nama riuh Mardani dan kawan-kawan. Tidak mengherankan ketika AA mengeluarkan tuduhan adanya kardus yang berbicara.
Kini, ketua tim sukses pun disapu oleh Gerindra dengan nama belum sepenuhnya resmi pada sosok Djoko Santoso. Lagi-lagi kader Gerindra untuk tiga posisi penting di dalam pemilu mendatang, baik pileg dan juga pilpres.
Koalisi Kepentingan, Menang-Kalah, bukan Menang-menang
Penyelesaian menggunakan paradigma potong kompas, yang penting cepat kelar, soal hasil belakangan. Ini bukan kompromi poltik ataupun sikap akomodatif yang ada, namun penyelesaian yang penting semua diam, bukan semua puas dan nyaman. Di sinilah nampak dengan baik penyelesaian politis tergesa-gesa yang memperlihatkan kebersamaan mereka rapuh.
Memilih Sandi dengan dugaan, sangkaan, dan akhirnya tuduhan yang tidak juga ada ujung pangkalnya ini sedikit banyak jelas memberikan indikasi demikian adanya. Sikap menghendaki pihak lain mengalah membuat keadaan tidak mudah. Jalan pintas ditempuh, menggandeng Sandi yang bisa "diterima" oleh PKS dan PAN, tentu dengan aroma yang tidak cukup sedap.
Hal yang sama diperlihatkan dalam memilih ketua tim pemenangan. Memang tidak sestrategis capres dan cawapres, namun secara iklan politik cukup menjual. Bagaimana kader yang ada di sana bisa membawa citra partai bagi pemilihan legeslatif. Â Pun itu diambil alih oleh Gerindra.
Wajar Demokrat "Ngambeg"
Ketika ada kebersamaan dalam koalisi Demokrat menjaga jarak dan tidak hadir. Media pun tahu dan ini bukan disembunyikan, namun dinyatakan secara publik. Mereka sudah menyatakan diri bahwa mereka memang mendukung Prabowo dan bukan Sandi. Aneh juga, pun ya bisalah namanya politik sakit hati. Ketika PD ulang tahun pun mereka tidak mengundang partai rekan-rekan mereka dalam koalisi ini. Jelas mereka menjaga jarak dan fokus pada pilihan legeslatif yang sangat masih bisa memperoleh hasil positif bagi mereka.
Fokus Partai Politik Masing-masing
Risiko terbesar adalah pasangan Prabowo-Sandi itu hanya perjuangan sampingan bagi parpol pendukung yang merasa tersisih. Sangat mungkin PKS dan PAN mengikuti pola pendekatan SBY dan Demokrat. Apalagi toh Gerindra tidak berani juga menegur perilaku Demokrat yang sedang "ngambeg" tersebut. Bisa berabe ketika menegur anak gede sedang ngambeg. Dan itu tentu telah dipahami oleh partai politik yang ada di dalam koalisi mereka.
Demokrat jelas agar tidak kena pinalti untuk pilpres 2024, kembali dengan jagoan sejak 2017 dalam diri AHY. Karena sudah tereliminasi pada 2019, upaya mereka tentu main aman dengan perilaku mereka main dua kaki. Agak "mencurigakan" pergerakan mereka yang "melepaskan" kader daerah untuk mendukung Jokowi-KH. Ma'ruf Amin, ini patut mendapatkan perhatian dengan masih juga lirak-lirik mereka. Sangat wajar.
Demokrat juga tidak akan menggelar dengan begitu mulus karpet  merah bagi Sandi. Karpet merah untuk AHY bisa "diserobot" Sandi jika tidak hatu-hati. Ini pertimbangan SBY dengan perilaku politiknya yang sangat-sangat tidak berusaha ini. posisi AHY jangan sampai tersisih terlalu jauh, apalagi kalau Sandi menang, jelas makin jauh lagi untuk bisa masuk pada gelanggang elit.
Hal yang enak itu, tentu bisa diikuti oleh PAN dan PKS yang tidak mau kehilangan pemilih potensial dalam pileg mereka. Nama dari Prabowo-Sandi jelas bukan representasi mereka. Pun ketika tim ses pun bukan dari partai politik mereka. Mereka tentu tidak mau hanya melihat dan menonton saja. Aksi bisa dilakukan atas nama bagi kerja, dan pilpres yang akan dinomorduakan.
Demokrat yang berjalan sendiri seperti ini jelas memberikan tanda bahaya besar bagi pendukung dna pengusung Prabowo. Bisa menjadi preseden bahwa hal itu "sah-sah" saja, toh Demokrat juga didiamkan, mengapa harus ikut kerja keras untuk pepesan kosong. Kerja atau tidak toh sama saja. Pengalaman 2014 P3 merasakan hal ini demi akomodasi Demokrat P3 tidak mendapatkan apa-apa.
Menteri dan kabinet jelas sama sekali belum jelas untuk menjadi bagi-bagi kue. Yang di depan mata saja sudah diserobot semua kog, apalagi yang lebih prestisius, menjanjikan, dan kursi kekuasaan, hal yang sama akan terulang.
Kebersamaa dibangun bukan karena kesamaan visi dan misi bagi bangsa, namun sekadar asal bukan... memang sangat rentan untuk terburai dan tercerai berai. Penyebutan satu nama selalu menjadi masalah, karena memang adanya tarik ulur, mau menang-kalah, bukan menang-menang demi bangsa dan negara.
Susah melihat mereka mau mengalah untuk menang. Jiwa demikian tidak ada. Apa iya yang demikian, patut menjadi pemimpin bangsa dan negara ini?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H