Ironis lagi para pelaku ini biasanya lantang ketika mengemukakan yang diakui sebagai kritik. Namun perilakunya sendiri tidak menunjukkan hal yang selaras. Ternyata kehendak baik saja tidak cukup. Masih banyak yang berpesta dengan menekan pihak lain, mau minta dilayani selaiknya pangreh praja dan ningrat yang memperbudak pihak lain.
Jangan heran ketika justru kerusakan itu ada pada elit karena memang mereka biasa enak-enakan tanpa memiliki prestasi, sedang rakyat kebanyakan yang kerja keras diminta melayani mereka. Ketika keadaan mau dijadikan sebagaimana mestinya, mereka yang paling berat untuk mau berubah. Hampir semua lini penolakan perubahan itu pada elit dan menengah, bawah jelas suka cita, ketika memperoleh apa yang selama ini hanya dilihat.
Namun, jangan lupa elit menguasai banyak fasilitas, dan itu bisa mengubah, merusak, dan mempengaruhi persepsi sebagaimana mereka inginkan. Atas nama rakyat namun sejatinya hanya untuk mengembalikan kondisi nyaman mereka selama ini yang kini terpangkas. Teriak-teriak BBM, listrik mahal itu dalih atas kesempatan maling mereka yang tepasung ketika tertib hukum tercipta.
Siapa yang menggagalkan revolusi mental, janji kampanye yang tidak terealisasi atau ketidakmauan berubah dan kehendak mengembalikan keadaan nyaman bagi mereka? Jujur saja kalau mulai kelaparan karena kran yang selama ini dol diperbaiki. Dan itu jelas berat dan menyakitkan.
Asian Games memberikan kisah unik yang mempertontonkan kualitas elit sebagaimana adanya. Mau dipoles apapun kalau tidak ada kesadaran untuk berubah, ya tidak akan ada yang baik dan baru. Kata Kitab Suci melemparkan mutiara ke kubangan babi, hanya diinjak-injak.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H