Dua, penegak hukum masih gamang atas protap mereka sendiri, mengapa demikian? SDM rendah yang ada karena rekrumen buruk. Suka atau tidak ini sangat berpengaruh, ditekan sedikit sudah mlendek. Dengan ancaman sedikit takut.
Tiga, sikap masyarakat yang mau enak sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Lihat saja apapun pelanggaran dan kejahatan itu hanya mendapatkan keuntungan diri sendiri dan merugikan orang lain.
Kelima, tabiat maunya menang sendiri dan dilayani. Khas anak-anak, susah untuk mengalah, bahkan salah pun nyolot dan melotot. Hal yang aneh ketika begitu masifnya maling teriak maling, dari jalanan hingga Senayan sana. Lihat saja bagaimana politikus itu tahu mereka yang maling namun menuduh pihak lain sebagai pelaku. Tidak heran di jalan, sudah salah malah menuduh pihak lain sebagai pelaku kesalahan itu.
Keenam, sikap tanggung jawab yang rendah. Jika orang itu memiliki sikap tanggung jawab akan tahu bahwa ia salah, kembali sifat kanak-kanak, tidak mau bertanggung jawab. Tahu ia yang memecahkan gelas malah menyalahkan kakaknya yang asyik menonton televisi, elit pun begitu bukan?
Ketujuh, jalanan mirip dengan dunia maya, di mana orang menjadi seolah anonim, tidak ada ikatan, jadi bisa tampil apa adanya. Bisa saja begaya atas hutang, toh tidak ada yang tahu. Bisa langsung kabur jika posisi tidak menguntungngkan.
Sebenarnya malu melihat etalase berbangsa di jalanan. Semua mau jadi raja yang mendapatkan segalanya, tanpa mau tahu kebutuhan orang lain. saling serobot, saling maki, senggol bacok, ini jauh lebih liar dan biadab dari pada hukum rimba. Melepaskan kemanusiaan baik diri sendiri dan orang lain yang menjadi penyubur atas perilaku ugal-ugalan di jalan. Ugal-ugalan tidak hanya untuk berbicara kecepatan dan main serobot, namun seluruh cara memakai jalan yang buruk.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H